Sedikit kilas balik sejarah perang klasik, Sejak dulu kala sudah dikenal teori perang menggunakan penyakit. Ambil contoh kasus penyakit cacar. Era jauh sebelum Louis Pastuer menemukan vaksin anti cacar. Penyakit ini dianggap penyakit kutukan. Maklum belum ada penangkal. Seseorang atau komunal yang digayuti cacar akan dianggap sampah. Dikucilkan...dan di isolasi dalam zona tertentu. Menyedihkan dan tragis. Tapi jangan salah! disisi lain cacar juga dimanfaatin sebagai eksperimen siasat perang. Metodologi yang dikembangkan untuk mengalahkan musuh. Gak tutup kemungkinan saat itu sudah merupakan proyek rahasia. Sesuai dengan tehnologi pendukung pada jamannya. Siapapun pihak sang pelaksana. Cara-nya cukup mudah. seorang utusan salah satu pihak bertikai akan menyusup ke wilayah musuh. Mungkin staf intelegen dan memanfaatin mata-mata bayaran. Mungkin juga kelinci percobaan. Cara-nya begini..., selimut bekas penderita cacar akan disusupkan pada barak tentara musuh. Next step, terjadilah geliat epidermis...masa inkubasi sang virus, menulari para stok personil prajurit. Kesempatan ini digunakan sebagai penekan pihak pemenang untuk lebih mendominasi kancah tempur. Ungguli pihak lawan. Murah biaya... tidak perlu dukungan dana logistik personil tempur. Jadi sulit dipungkiri, eksperimen ini tentunya mengalami gradasi peningkatan kian canggih sejalan dukungan tehnologi dan mega konseptual para pemain-nya. Kita mengenalnya dengan debut bio-tech. Baik peruntukan hal positif, semisal pengembangan paritas benih pertanian pangan. Ternak hibrida dan apapun maslahat lainnya. Dampak negatif, tentu saja up-gradable pengembangan senjata biologis tadi. Ditengarai sebagai ancaman bagi kemanusiaan. Sekalipun negara-2 di dunia sepakat melarang pemakaian senjata (kimia maupun biologis) melalui konvensi Jenewa, perihal traktat perang. Senjata pemusnah massal tetap saja ditakuti. Dikecam vokalitas kolektif...namun diam-diam pihak tertentu masih kelola sebagai andalan pamungkas.
Kembali swine flu, paritas ini sebelumnya gak berbahaya bagi manusia. Seperti halnya virus flu burung. Namun muatan bekal virus menjadi lebih garang, akibat sentuhan bio-tech. Kemarin resah H5N1...kini H1N1. Gak cuma Indonesia kelabakan! Ujung juntrung, penangkalnya sudah ada. Sinyalemen terakhir H5N1 adalah sebuah konspirasi penjualan obat penangkal. Sekaligus guncangan ekonomi berupa shock teraphy... akibat "penolakan" impor daging ayam dari negri paman Sam. Wajar ibu menkes Fadilla Sapari mencak-2...tahan geram. Kenang kasus si Manusia pohon, diambil sampel darah-nya oleh negara lain tanpa kompensasi medical knowledge. Implementasi akhir timbal balik, bagi Indonesia tentu saja. Kang Dede, penderita penyakit Human Papilloma Virus (HPV).
Saya pribadi gak bisa bayangin klo sampe sampel virus kang Dede ini sampai jatuh ke tangan salah. Dipermak sedemikian rupa jadi bahan baku senjata biologis paritas lain. Hiperbolic....mode-ON.
Referensi bedah buku,
Sekedar mendukung "kuatir" tadi saya jadi tertarik obsesi baca buku dengan judul DEADLY MIST-karya Jerry D. Gray tampak inset. Beberapa hal banyak dikupas tuntas. Gak terbeli. Alias modal baca intip dalam tiap kesempatan kunjung toko buku Karisma-Mataram Mall. Tentunya yang gak bersampul plastik.Penyebaran penyebaran penyakit buatan (artificial disease) dikupas elegan dan deskriptif, sangat inspiratif dalam satu bab. Di ceritakan tentang Chemical Trails dimaknai "Jejak-Jejak Kimia". Partikel material sejenis debu fiber dijadikan sebagai senjata kimia. Caranya di angkut dalam badan pesawat (bisa komersial), lalu akan dilepas di selasar angkasa suatu negara yang dituju. Fenomena ini akan tampak saat kita memandang lintas terbang pesawat. Akan terbentuk sisa jalur lintas seperti asap. Istilahnya Contrial. Bekal debu kosmis tadi di sebarkan melalui lintas contrial tersebut. Menimbun dan nangkring di gumpal awan. Saat mendung...debu kosmis tadi berbaur dengan bulir uap air. Selanjutnya akan hujam paras bumi melalui tetes rinai. Tergantung kawasan yang disasar. Bayangin klo itu Indonesia. Saya hanya berpikir ala Jerry.













