Akhirnya tiba.
Paska sebulan penuh berkutat ibadah shaum. Sekalipun jauh dari kategori sempurna dalam pelaksanaan ibadah. Saya masih wajib bersyukur. Punya kans menyisip kegiatan diantara waktu dhuha hingga asar di masjid Raya Mataram. Cicil juz demi juz hingga khatam. Tambal-sulam di rajut 30 hari...,
Gak seperti rutinitas silam. Kadar yang tereliminir, sudah gak terbersit lagi hasrat hinggap dari berbeda masjid, musholla dan surau. Yang jumlahnya memang bertebaran di penjuru Mataram. Sesuai relevansi sebagai bagian Lombok berjuluk pulau Seribu Masjid.
Paska sebulan penuh berkutat ibadah shaum. Sekalipun jauh dari kategori sempurna dalam pelaksanaan ibadah. Saya masih wajib bersyukur. Punya kans menyisip kegiatan diantara waktu dhuha hingga asar di masjid Raya Mataram. Cicil juz demi juz hingga khatam. Tambal-sulam di rajut 30 hari...,
Gak seperti rutinitas silam. Kadar yang tereliminir, sudah gak terbersit lagi hasrat hinggap dari berbeda masjid, musholla dan surau. Yang jumlahnya memang bertebaran di penjuru Mataram. Sesuai relevansi sebagai bagian Lombok berjuluk pulau Seribu Masjid.
Suasana juga beda. Cuaca lebih banyak kering. Berhawa sejuk.. bahkan mendadak dingin dari level biasa-nya. Malam demi malam berlantun gaung partitur Kitabullah. Varian beda generasi... merajut malam dengan tonasi tajwid. Lancar dan patah-patah... Semua rujuk di muara harap, ketiban hidayah Lailatul Qadar.
Starting poin yang beda porsi. Metode rukyat, Hilal dan sidang isbat. Senantiasa berkutat dalil akhir, Perbedaan adalah hidayah yang wajib disyukuri. Apapun konsekuensi dari pihak yang beda pendapat. Polemik gak berkesudahan. se-Amsal beda 2 kutub utara-selatan. Namun semoga tetap bersinergi.
Bahkan jelang 10 hari pelaksanaan Ramadhan akhir. Terselip agenda Dirgahayu Indonesia ke-67. Sebagai tipikal manusia non formal ala PNS. Saya gak sebegitu paham seperti apa aura kemerdekaan versi kini. Hanya tetap masih menduga. Formula rutin itu agak membentuk pola apa adanya. Entah kategori cinta tanah air apa yang kini dialami pada alih generasi. Kebanggaan semu... atau berujung juntrung Nasionalis kambuhan. Semua berpulang di pemahaman tiap individu.
Bahkan jelang 10 hari pelaksanaan Ramadhan akhir. Terselip agenda Dirgahayu Indonesia ke-67. Sebagai tipikal manusia non formal ala PNS. Saya gak sebegitu paham seperti apa aura kemerdekaan versi kini. Hanya tetap masih menduga. Formula rutin itu agak membentuk pola apa adanya. Entah kategori cinta tanah air apa yang kini dialami pada alih generasi. Kebanggaan semu... atau berujung juntrung Nasionalis kambuhan. Semua berpulang di pemahaman tiap individu.
Shaum di jelang 17 Agustus. Menghantarkan saya di temu-kumpul rekan Warung jack, Taman Budaya Mataram. Paska asar digelar acara sederhana bertajuk "Musik Kemerdekaan". Penggagas-nya masih tetap kang Ary Juliant. Prakata simpel.. bahwa lewat jalur berkesenian, apresiasi makna kemerdekaan ini bisa di jalani. Sebentuk kepedulian termudah sebagai oknum warga negara yg lahir dan besar di Bumi pertiwi... atawa Gumi Pertiwi.Terserah dengan kebobrokan realita tatanan orde yang berlangsung. Sebagai lumrah pembuka, karya maestro WR. Supratman melantun di kebersamaan keluarga Warjack. Haru yang lain..........,
Itupun selang sekian hari. Muncul juga anekdot di komunitas jejaring warga maya. Karikata dilematis lengkapi daya satire berparodi. Singkat kalimat... "Akhirnya, tanpa melalui sidang isbat... NU dan Muhammadiyah sepakat memutuskan hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 2012". Masih di-embeli runtun celetuk lain oknum warjack. Wajar saja.. sebab sudah menjadi akad pihak MUI. Majelis Ulama Indonesia... bukan porsi Majelis Ulama Islam.
Kembali fitur Ramadhan...,
Semakin dekati hari akhir, kian dibikin saya gerah. Gelisah dalam batas manusiawi lahiriah, tentunya. Sebanyak opini lintas berkecamuk. Bisa jadi rupa obsesi diri yang melanglang jagad benak. Mukadimah kemarin bergaung Marhaban ya Ramadhan..., sebentar lagi Farewell of Ramadhan. Happy Ied Mubarak.....,
Semalam suntuk saya sulit tidur. Gema takbir gemuruh bagai gelombang gak putus. Malam takbiran sudah berjalan ramai sejak lepas isya. Menghimpun umat rela kumpul. Memadati simpang 5 Ampenan. Beriring semut sepanjang lingkar lintas rute aspal, seperti tahun sebelumnya. Hingar petasan jejali ke tinggian. Semarak yang kali ini saya hindari. Bahkan mematahkan antusiasme hasrat bocah di rumah. Maaf, ayah kalian lagi melow..barang jenak. Lagi kumat tensi-sensi...
Lepas alih PM-AM, saya masih berkubang aktivitas internet. Lalu menguap disergap kantuk. Melepas penat tidur singkat. 2 jam perjalanan... serasa pause sejengkal. Henyak lagi di altar dini hari. Sepasukan bocah asal Melayu Bangsal gilir kitari kampung berbekal tetabuh ala kadar. Sambil teriak parau... takbir sengau. Seperti paduan suara tanpa ritme sensasi rapi. Cukup usik gendang kuping! Ah! jelang injury time... terbayang lagi keluarga Malang. Biang sensi tadi!!!!
Subuh-pun terlewati. Berkemas kunjung Masjid Babussalam. Remang merah fajar shodiq... mulai tipis dibasuh lidah pagi. Kini saya tergugah lebih antusias. Bergegas ajak Thoriq... sambil menenteng bekal kamera. Yah! Sholat Ied selalu ajak saya menikmati nuansa baur... sidang jama'ah yang menyambut makna fitrah. Selalu ada nilai memenangkan kebahagian di jeda akhir. Haru.. sedih, gembira campur tangis. Persis di momen fluktuasi dengung sholawat.... berjabat salam gaya Babussalam. Saya-pun lega..., terasa lapang mengeruk kantung hati.
Salam Lebaran menyambut Syawal....,