ilustrasi comotan asal internet. |
Dulu
semasa bocah di Malang (kurun 80’s..tema oldie)
Menjalani agenda shaum bisa jadi cerita menarik tersendiri. Di komplek kampong
kota tempat saya tinggal, Kotalama. Pemukim warga pendatang asal Madura punya
tabiat unik. Terkait tematik kecerdasan financial yang ditanamkan sejak dini
pada anak keturunana mereka. Salah satunya adalah memilki Becak. Meski gak
harus di tunggangi sendiri, tapi bisa disewakan kepada becak driver lain. Menerapkan
sistim bagi hasil sesuai akad. Hasilnya bisa jadi tabungan bagi keperluan anak,
kelak dikemudian hari. Jadi, punya becak itu sepeti memiliki asset armada moda
transportasi umumnya. Semacam oplet, helicak dan bemo.
Nah!
Becak milik tetangga depan rumah menyimpan sejarah silam masa bocah khas
tematik urban. Menyambut hari-hari ramadhan menimbulkan keriangan tersendiri.
Bisa jadi masa itu juga ada geliat fluktuasi situasi ekonomi yang bergejolak.
Tapi apalah hal-hil yang begituan. Akan sangat tidak nyantol di benak kami
selaku bocah. Life is so easy going…
Kembali
soal becak di musim puasa. Saya gak gitu suka dengan ‘patrol’. Itu-tuh aksi
unjuk bebunyian untuk membangunkan warga saat jam makan sahur. Istilah
malangan-nya “Kote’an”. Nimbrung dengan rekan Madura banyakan usil-nya. Selain
pukul-pukul berbagai macam bekal alat apa-adanya. Kadang diselingi usil yang
kelewatan. Malah agak ‘neror’ notabene warga yang sudah disasar oleh kelompok
kecil tadi. Biasanya tipe tetangga yang galak pada bocah. Atau tipikal pelit berbagi
hasil buah tanaman yang dimiliki. Bisa juga keusilan ekstrim lain. Yang mungkin
agak gak pantas diumbar dimari. Hehehe… biar gak nulari hawa efek negatif dari para
ekstrimis berwujud bocah.
Nah,
saya sih bukan tipe anak super alim. Tapi juga kadang juga masih sadar kadar dan batas nila-nilai kepantasan. Terutama gak doyan usil yang agak kurang ajar terhadap
orang-orang dewasa. Jadi pada porsi tertentu mulai mengatur pilih teman. Disisi lain memang tipe saya memang gak suka dengan tema-tema stag. Temen itu-itu saja. Selalu mencari keasyikan nimbrung dengan
rekan lain. Mendingan pilih blusukan gang kecil di kampung-kampung sebelah.
Pakai Becak! Yang nimbrung bisa 4-5 anak sekaligus. Bisa 6, asal 1 duduk
nangkring di penutup fender ban belakang. Agak kuat.. karena bahan-nya terbuat
dari plat besi tebal. Saat kejadian yang gak bisa dbikin lupa. Rekan pemilik
becak bernama Mat-Rudji. Dalam setiap
aksi blusukan dia selalu ikut kawal. Sebab gak bisa begitu saja yakin
meminjamkan asset-nya tanpa kontrol ketat.
Kebetulan dia ngalah duduk fender, sementara anak lain pada milih duduk jok
utama. Yang berpostur tubuh besar, dan memang lebih senior akan berpotensi
sebagai tukang pancal/kayuh.
Sekali
waktu saya didaulat jadi tukang kayuh. Maksudnya biar gak enak-enakan jadi
penumpang sadja. Tapi dasarnya gak pernah enyam tehnik yang benar. Baru pada
kayuhan awal start..maklum, dengan menyesuaikan berat tunggangan, posisi becak
langsung miring. Hal ini bikin para temen yang di jok pada otomatis berloncatan.
Menyelamatkan diri. Hehehe…, garuk kepala sambil saya cengar-cengir. Padahal
saya belum tuntas unjuk kebolehan. Meremehkan sekali mereka!
Segi
positifnya. Akhirnya saya memang jadi porsi anak bawang. Gak bisa diganggu
gugat. Karena secara postur saya paling kecil. Aksi mbecak-pun dilanjutkan. Mau
gak mau si Sholeh senior (almarhum) kudu rela jadi tukang pancal-nya. Mat Rudji…
yang cukup dipanggil Rudji masih menduduki singgasana fender belakang. Gang demi
gang kami lewati… hingga tiba di satu ujung mulut gang mengarah aspal jalan
utama. Becak meluncur kecepatan sedang…ada gundukan polisi tidur. Roda depan
berhasil melewati… giliran ban belakang..Eh, ada suara aneh seperti kampas rem
berdecit. Sembari ditambahi suara gaduh si Rudji di belakang. Rupanya, lonjakan
ban belakang melewati gundukan tadi berujung insiden kecil. Tumit kaki Mat
Rudji terselip diantara pelek ban.
Sholeh cepat ngerem! Kami semua turun dari jok. MatRudji duduk di hamparan
aspal sambil mengaduh kesakitan. Nangis juga! Lha wong tumit belakangnya agak
terkilir dan berdarah sedikit. Kami trenyuh melihat penderitaan yang
dialami-nya.
Tempat
itu jadi pit-stop sejenak kami. Sambil menghibur si Matrudji agar sedikit pulih
dari syok ringan-nya. Nah, selang sekian menit kami-pun bergegas untuk pulang. Jadwal
makan sahur di rumah masing-masing. Eh ada lagi celetukan si Sholeh. “Oalaa Rudji… nasib-mu kog yo apes. Wis
jenenge Rudji…sikil-mu KO karo ruji ban becak”. Seketika menggelagar
tawa kami… menghias perjalanan balik kampung. Kali ini saya ngalah duduk di
tahta belakang fender. Senyap sesekali di alur laju becak. Mendadak saya
cekikikan sendiri. Gak bisa mendam gelitik ungkapan si almarhum Sholeh tadi. Ah…,
kenangan manis ini semoga jadi catatan amal baik untuk masbro Sholeh di hadirat
alam-Nya.
Kepada
rekan-rekan saya di Malang sana. Bisa jadi kita tak lagi lancar bertegur sapa
seperti keriangan di masa lalu. Namun paling tidak, serpihan mozaik tutur kata
ini bisa menjadi pengikat silaturahmi penguat tersendiri. Selamat jalani
Ramadhan 2016. Bersama anggota keluarga masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar