Didunia ini, semua diciptakan tidak dengan sia-sia....,
Maka begitu juga dalam penerapan aksi berburu. Sejauh mana kegiatan ini sudah berlangsung melalui lintas peradapan dan budaya. Tehnik berkembang sejalan tehnologi pendukungnya. Semua bangsa mempunyai tehnik dan ciri khas gaya berburu masing-masing. Dari tingkat masyarakat tradisional hingga modern.
Sejauh hewan itu layak dikonsumsi sesuai panduan syari. knapa Tupai? haram or halal? Pertanyaan ini seakan berulang sekian kalinya. Padahal klo runut kanal informasi maya, daging tupai dibilang status Mubah. artinya BOLEH. Disokong oleh beberapa madzab dan kitab-kitab yang membahasnya. juncto, tupai sendiri mestinya untuk wilayah sebaran umum di daerah Indonesia bakal umum, layak dan boleh dikonsumsi.
Masalahnya akan jadi runyam, saat tupai tidak ditemui di suatu daerah, Misal Lombok, yang merupakan batas dari garis khayal pembeda ciri khas jenis satwa indonesia bagian barat dan timur. Dan ketika sekonyong koder...ladalah! ada muncul tupai yang hadir di satu lingkar kawasan terbatas. Sebab faktor manusia yang membawa sebagai hewan peliharaan. Lalu dilepas dihabitat bebas. Berkembang pesat dan mulai menjadi momok hama lingkungan perkebunan kelapa milik warga.
Dan ini yang kami alami di Lombok, (CATAT : tapi hanya poligon luasan zona terbatas) sekitar kurun dasawarsa. Mulai warga bingung. Satu sisi terganggu...sisi lain bingung biota mamalia kecil ini mau diapakan? mau di makan...ntar kpentok status haram.
Balik ke kubu yang mengharamkan. Penjelasannya simpel. Dianggap haram karena tupai termasuk satwa liar dan ber-TARING. Ini yang saya dapatkan dari referensi internet. Nah semakin orang terheran..dan justifikasi akhir memang haram. Tanpa mau menengok dalil lain yang membolehkannya. Apalagi secara khasiat daging tupai punya efek baik untuk penyembuhan. Terutama pengembalian jaringan kulit yang mengalami luka terbuka, ataupun bekas sayatan paska operasi.
Nah, secara gelili apakah memang layak gigi utama tupai disebut TARING? layaknya taring sekelompok satwa predator, liar dan buas. Bisakah "taring" tupai disejajarkan taring harimau, beruang dan pemangsa lain???? Tentu saja mestinya TIDAK! Kelompok hewan predator besar tadi memang dianugrahi taring untuk fungsi senjata, demi bertarung dan memangsa hewan buruannya. Atau dikategorikan hewan CARNIVORA. Pemakan daging, jari kuku dan taringnya untuk mencakar, cabik, gigit kunyah secara harfiah. Meski juga bisa sebagai pendukung alat panjat, khusus beberapa tipe satwa punya tabiat doyan hidup di pepohonan. atau disebut Arboreal.
Tupai apakah biota buas???? karnivora??? dan layakkah gigi depan tongos-nya disebut TARING??? fakta beda bro!!! Tupai kelapa...diidentikkan kelapa ya berarti dia pemakan jenis buah, alias Herbivora. "Taring" alias gigi panjang depannya memang di desain untuk mereka mudah bolongi kulit buah tipe keras. Dari kelapa, durian...bahkan kenari. Meski di Indonesia sepertinya sangat jarang tupai melahap buah kenari.
Gigi khas ini tentu saja bisa fungsi senjata klo mereka berkelahi ataupun gigit jika terdesak. Dan itu reflek lumrah. Masih bisakah tupai disebut hewan buas???... konotasi liar, boleh saja! tapi buas jelas enggak! OKe...semoga clear sejauh ini.
Tupai juga berkuku, tapi itu untuk fungsi memanjat, karena mereka 100% tipikal kelompok arboreal. Kuku mereka tentu gak bisa disamakan dengan kuku pada kelompok aves predator semisal garuda, Rajawali dan elang (Raptor). yang mendukung sebagai alat cengkram untuk memburu dan mematikan.
Kembali pada tagline Ilahiah "Tidak ada yang diciptakan sia-sia...". Jadi mending jangan ributin lagi status halal/haram si tupai. Jika kalian gak suka cukup berhenti disana saja. Adapun yang bisa mengkonsumsinya, tentu sah saja. misal terkait dari aksi berburu, dan dagingnya gak disia-siakan. Lain kasus, untuk daerah dengan populasi tupai padat. Misal didaerah perkebunan sawit Sumatra. Momentum tertentu Perbakin, dengan sekelompok anggotanya turun melakukan aksi sosial, bukan genoside yah! tapi sebagai rangkaian kontrol populasi, untuk menurunkan jumlah melimpah dan dampaknya meresahkan hasil perkebunan, baik skala industri sawit dan perkebunan umum warga umum.
Hasilnya buruan tupai jadi begitu banyaaaaak. Entah daging segitu hendak dimanfaatkan apa? Di konsumsi sebagian? sisanya dimusnahkan? gak tau. Padahal untuk pemanfaatan fungsi herba tentu masih bisa. Di kerabat kami sendiri yang punya trah asal Kalimantan, Dulu, sering minta kiriman daging tupai dari kerabatnya. Sebab di Lombok gak ada tupai. Khusus dikonsumsi untuk penderita diabetes. Bukan untuk turunkan laju gula darahnya....namun untuk proses pengembalian luka akibat pembusukan jaringan kulit (gangren). Ada kalanya penderita bosan olahan goreng biasa... dan disiasati dalam bentuk olahan "abon" daging tupai. Bikin abon tentu gak mudah...faktor susut daging basah ke kering akan banyak butuh daging. kasus perburuan masal ala anggota Perbakin tadi mestinya bisa melirik sektor usaha ini. Jika ada pihak yang terinspirasi. Punya nilai ekonomis sekaligus aktif mengontrol fungsi ekologisnya.
Uraian ini semoga ada manfaatnya.
Masalahnya akan jadi runyam, saat tupai tidak ditemui di suatu daerah, Misal Lombok, yang merupakan batas dari garis khayal pembeda ciri khas jenis satwa indonesia bagian barat dan timur. Dan ketika sekonyong koder...ladalah! ada muncul tupai yang hadir di satu lingkar kawasan terbatas. Sebab faktor manusia yang membawa sebagai hewan peliharaan. Lalu dilepas dihabitat bebas. Berkembang pesat dan mulai menjadi momok hama lingkungan perkebunan kelapa milik warga.
Dan ini yang kami alami di Lombok, (CATAT : tapi hanya poligon luasan zona terbatas) sekitar kurun dasawarsa. Mulai warga bingung. Satu sisi terganggu...sisi lain bingung biota mamalia kecil ini mau diapakan? mau di makan...ntar kpentok status haram.
Balik ke kubu yang mengharamkan. Penjelasannya simpel. Dianggap haram karena tupai termasuk satwa liar dan ber-TARING. Ini yang saya dapatkan dari referensi internet. Nah semakin orang terheran..dan justifikasi akhir memang haram. Tanpa mau menengok dalil lain yang membolehkannya. Apalagi secara khasiat daging tupai punya efek baik untuk penyembuhan. Terutama pengembalian jaringan kulit yang mengalami luka terbuka, ataupun bekas sayatan paska operasi.
Nah, secara gelili apakah memang layak gigi utama tupai disebut TARING? layaknya taring sekelompok satwa predator, liar dan buas. Bisakah "taring" tupai disejajarkan taring harimau, beruang dan pemangsa lain???? Tentu saja mestinya TIDAK! Kelompok hewan predator besar tadi memang dianugrahi taring untuk fungsi senjata, demi bertarung dan memangsa hewan buruannya. Atau dikategorikan hewan CARNIVORA. Pemakan daging, jari kuku dan taringnya untuk mencakar, cabik, gigit kunyah secara harfiah. Meski juga bisa sebagai pendukung alat panjat, khusus beberapa tipe satwa punya tabiat doyan hidup di pepohonan. atau disebut Arboreal.
Tupai apakah biota buas???? karnivora??? dan layakkah gigi depan tongos-nya disebut TARING??? fakta beda bro!!! Tupai kelapa...diidentikkan kelapa ya berarti dia pemakan jenis buah, alias Herbivora. "Taring" alias gigi panjang depannya memang di desain untuk mereka mudah bolongi kulit buah tipe keras. Dari kelapa, durian...bahkan kenari. Meski di Indonesia sepertinya sangat jarang tupai melahap buah kenari.
Gigi khas ini tentu saja bisa fungsi senjata klo mereka berkelahi ataupun gigit jika terdesak. Dan itu reflek lumrah. Masih bisakah tupai disebut hewan buas???... konotasi liar, boleh saja! tapi buas jelas enggak! OKe...semoga clear sejauh ini.
Tupai juga berkuku, tapi itu untuk fungsi memanjat, karena mereka 100% tipikal kelompok arboreal. Kuku mereka tentu gak bisa disamakan dengan kuku pada kelompok aves predator semisal garuda, Rajawali dan elang (Raptor). yang mendukung sebagai alat cengkram untuk memburu dan mematikan.
Kembali pada tagline Ilahiah "Tidak ada yang diciptakan sia-sia...". Jadi mending jangan ributin lagi status halal/haram si tupai. Jika kalian gak suka cukup berhenti disana saja. Adapun yang bisa mengkonsumsinya, tentu sah saja. misal terkait dari aksi berburu, dan dagingnya gak disia-siakan. Lain kasus, untuk daerah dengan populasi tupai padat. Misal didaerah perkebunan sawit Sumatra. Momentum tertentu Perbakin, dengan sekelompok anggotanya turun melakukan aksi sosial, bukan genoside yah! tapi sebagai rangkaian kontrol populasi, untuk menurunkan jumlah melimpah dan dampaknya meresahkan hasil perkebunan, baik skala industri sawit dan perkebunan umum warga umum.
Hasilnya buruan tupai jadi begitu banyaaaaak. Entah daging segitu hendak dimanfaatkan apa? Di konsumsi sebagian? sisanya dimusnahkan? gak tau. Padahal untuk pemanfaatan fungsi herba tentu masih bisa. Di kerabat kami sendiri yang punya trah asal Kalimantan, Dulu, sering minta kiriman daging tupai dari kerabatnya. Sebab di Lombok gak ada tupai. Khusus dikonsumsi untuk penderita diabetes. Bukan untuk turunkan laju gula darahnya....namun untuk proses pengembalian luka akibat pembusukan jaringan kulit (gangren). Ada kalanya penderita bosan olahan goreng biasa... dan disiasati dalam bentuk olahan "abon" daging tupai. Bikin abon tentu gak mudah...faktor susut daging basah ke kering akan banyak butuh daging. kasus perburuan masal ala anggota Perbakin tadi mestinya bisa melirik sektor usaha ini. Jika ada pihak yang terinspirasi. Punya nilai ekonomis sekaligus aktif mengontrol fungsi ekologisnya.
Uraian ini semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar