Selasa, 10 Maret 2009
Masih bernaung dalam kegiatan survey Samanta. Upaya akomodir daerah percontohan ideal bagi tersalurnya dana CSR (Coorporate Social Responsibilty). Kali ini anjangsana kami fokuskan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Namun tetap dengan korelasi koridor tema fokus lembaga, Kehutanan.
Kami memasuki pecah simpang aspal, menuju daerah Aik Bukak. Berbelok lagi tuju arah jalur kawasan wisata Benang Stokel (pernah saya singgung dalam 1 artikel khusus). Ini nama tempat air terjun aset lokal. Selain stok 2 air terjun lain yang berada di beda level diatas-nya (up-land).
Benang Stokel identik dengan cerukan alir sungai jalur tetes terjun air. Saya prefer juluki “jurang-jurang eksotis”. Konon nama ini menurut warga disesuaikan dengan format ukur-ulur benang. Segumpal “Benang putih” yang biasa dipakai tukang bangunan, medium rentang ukur habis ketinggian sang jurang.
Kami mampir di tempat sentral oknum LSM lokal dan Kepala Dusun. Beliau-beliau bertindak selaku guide kami. Sasaran survey kami adalah masyarakat tepi hutan (HKM), penghuni zona penyanggah di dekat Benang Stokel. Hutan Batu Kliang, termasuk bagian Desa Aik Berik – kecamatan Batu Kliang Utara.
Berisi komunal yang kian bertambah jumlah-nya. Catatan resmi statistik desa tahun 1996 berjumlah 75KK. Status kawasan sendiri merupakan bagian Hutan Lindung. Sempat gundul di era lampau. Hingga dilakukan upaya reboisasi pemerintah. Tahun 1970 ditanami Lamtoro tapi gagal. Menyusul tahun 1975 digalakkan lagi tanam tegakan Mahoni. Cukup berhasil, hingga meraih juara 1 kategori lomba penghijauan kawasan tingkat nasional.
Masyarakat hutan inilah yang berperan dalam proyek reboisasi tersebut. Awalnya segelintir penduduk “blok” ini memiliki rumah terpisah jarak didalam hutan. Atas sebuah nilai “kebijakan” mereka diperbolehkan menempati kawasan pinggir hutan – zona penyanggah. Namun dengan status “titip” ibarat panti joglo.. bukan jompo!. Adapun langkah kemudian adalah menunggu “kebijakan” lain. Wishdom’s Waiting List…..,
Nama blok ini cukup unik, Tambeng Keke’. Tambeng bahasa lokal bermakna bentuk jenis akar papan. Keke’ berarti gigit. Secara langsung gambaran “cermin” sebuah keprihatinan yang diderita warga setempat. Sekedar penuhi hasrat pangan, sampai gelambir akar pohon-pun rela disantap. Mungkin terasa sedap beserta guyur kecap ABC dan sedikit colek sambal. Kira-kira begitu…..,
Cukup mengenaskan memang. Rumah huni berparas gubuk. MCK ala kadar-nya. Graha sapi hanya berjarak interval gang kurang 2 meter. Sangat wajar berpengaruh pada tingkat kesehatan rendah. Musim tertentu terkena wabah kolera. Masih pula dibayangi waswas malaria, ternak nyamuk efek lembab rimbun kanopi mahoni. Belum tergapai fasilitas listrik, kecuali genset kecil suplai daya bagi nyala radio komunikasi-HT. itupun hanya tampak di salah satu rumah tempat kami nangkring lakukan wawancara. Keamanan ternyata isu rentan lain. Dengar kisah miris, seorang warga pernah dibacok kapak persis tengkuk belakang. Malam disantroni, perampok berbekal “info” korban-nya menyimpan uang sebesar 400ribu Rupiah. Info yang mungkin cuma isu. Merasa tidak dituruti mau-nya, si korban dihadiahi cidera berdarah. Kini meninggalkan cacat pendengaran. Syaraf di otak kecil-nya malfunction.
Sarana pendidikan cukup jauh. sekolah hanya bisa ditempuh 1,5 hingga 2 Km jalan kaki untuk kemudian sambung kendaraan pengangkut hasil bumi. Memang bukan masalah bagi kami ber-Taruna. Melibas liuk setapak tanah dan kubang lumpur sejak belah simpang gapura teras Benang Stokel.
Ada juga berita menggembirakan. Ternyata dengan pola aktivitas HKM ada warga yang mampu kuliah-kan anak-nya. Sebuah geliat upaya rubah keadaan, moga saja. Hati kecil saya sebenar-nya ogah nulis pernik asa tersebut. Khawatir nanti dimasukin hati oleh pihak tertentu pemerhati instansi terkait. stake holder yang mesti-nya tergerak untuk lebih dini antisipasi kebutuhan warga.
Ntar muncul bisikan was-wasil honnas pada “mereka” untuk berkilah. Buat apa diprioritaskan toh bisa bangkit dari keterpurukan. Meski dengan terseok-seok. Padahal kebijakan dan amanat derita rakyat terletak dipundak mereka demi mereka ini.
Bila masih ada spesies “mereka” ini, andai boleh memilih. Sebagaimana ujar Robert Malthus tentang teori kependudukan. Kepadatan penduduk hanya bisa dikurangi oleh sebab natural, bencana alam misal-nya. Semoga saja bencana buatan (artificial disaster) olahan para pengelola amburadul kebijakan inilah yang duluan terbasmi oleh hukum sebab-akibat. Mereka sudah kudu dan rela masuk karantina pusat rehabilitasi jiwa. Akibat terforsir penat nikmati suguhan tahta duniawi….,
NotaBene-Ran!
Ada yang merasa keberatan dengan isi materi, silahkan tinggalkan pesan dan identitas asli di rubrik komentar. Luapin saku amarah bila itu mampu memangkas rasa ber-Dosa yang anda tanggung selama ini. SEBALIK-nya, bila artikel ini membawa maslahat dan pesan moral, kandung bibit pencerahan dan apa-pun istilah. Silahkan share dengan kemudahan fasilitas antar jejaring. Moga imbalan pahala diganjar bagi bekal akherat kelak. Setulus niat tiap individu….,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar