........,
Keterlibatan saya di kancah ini sebenarnya tidak jauh dari unsur kaji sejarah. Berawal dari minat terhadap keris. Apapun jenis dan asal-nya. Terpasung risih silam pengalaman bawa tamu mancanegara. Selagi aktif jadi guide pariwisata. Satu senja kongkow bareng tamu asal Belanda di pondok Siola – Sambelia. Terjebak bahasan tema keris. Akibat kurang “ngeh” saya jadi blingsatan asal jawab. Padahal benar-benar blank lini pengetahuan sejarah terkait. Sekedar upaya tutup diri, buta sejarah budaya sendiri. Gak kurang akal. Alur dialog saya giring pada koleksi museum Leiden. Se-olah sisip protes “halus”. Stok sejarah bangsa kami banyak raib. Diangkut secara simultan dimasa era kolonialis. Jadi sebuah nilai wajar kalo mayoritas generasi kami gagap sejarah sendiri. Namun dialog tetap junjung kadar etika. Interaktif dan mengalir alun kompromis. Demi jaga mutu jasa layanan… dan kondite citra ke-pariwisata-an, khas oknum daerah. Ach! Terlalu muluk!!! Yang jelas demi citra personalita.
Apakah cukup? Jelas enggak!!! Diganjar “sesi” tadi bikin saya gerah. Terpacu diri sekedar penuhi hasrat kais ilmu. Gak rela dibilang buta budaya, awali aksi gerilya. Dari sekedar referensi wacana maupun nimbrung pedagang barang antik, khusus keris. Kadang berbekal koleksi pribadi seada-nya untuk modal ajang dialogis. Sekedar varian Badik hibah pihak keluarga - jalur Selayar-Sulawesi.
Minim referensi
Penulusuran ini sedikit tersendat. Setiap kali kpingin menulis tentang keris Lombok, saking terbatasnya narasumber dan kajian pustaka. Cuma ada 2 kitab pendukung, keluaran pihak Museum NTB dan buku berjudul “Keris Lombok” karya Lalu Djelenga.
Tetap saja ada satu missing Link, yang patut dipertanyakan. Terutama perihal kejelasan silsilah keris Lombok. Terkait kriteria “Tangguh” (relevansi tahun pembuatan-gaya & campuran bahan baku). Tidak salah kalo Riyanto Rabbah (wartawan) dengan tanpa ragu menulis artikel berjudul “Keris Lombok, Pusaka tanpa Mpu”. Hasil acuan browsing - penelusuran jejak via internet. Alibi dan prediksi-nya tidak jauh dari muatan referensi buku Keris pihak Museum.
Kenyataan, bahwa keris Lombok lebih mirip gaya keris Bali dan keris Sumbawa lebih mengacu gaya keris Sulwesi Selatan (Bugis Makasar). Bukti otentik yang ditengarai adanya 2 lintasan budaya Keris yang masuk mewarnai NTB. Lintas utara (Bugis-Makasar) masuk NTB bagian timur (p.Sumbawa). Lintas barat melalui Bali masuk ke NTB bagian barat (p.Lombok). Kemungkinan berlangsung era keruntuhan Majapahit (abad 15), sehingga Lombok menjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Klungkung-Bali dan kerajaan Goa-Makasar. Berakhir dengan perjanjian Sagening tahun 1624. Yaitu antara Raja Dalem Sagening (Klungkung-Bali) dengan Raja Alaudin (Goa Makasar), yang menentukan pembagian wilayah pengaruh keduanya. (buku KERIS – NTB, halaman 14)
Apakah cukup? Bila “jeli” ada sebuah sebuah prediksi yang cukup menarik untuk ditelaah. Kajian unsur pamor antara keris Lombok dengan Sumbawa. Di buku yang sama, KERIS – NTB, halaman 19.
Disebutkan.., Unsur pamor keris Lombok lebih jelas dan bervariasi. Berbeda dengan keris Sumbawa yang kurang gemerlap dan cenderung monoton. Keris Sumbawa diperkirakan memakai bahan pamor dari Luwu-Sulsel. Diperoleh dari pengolahan biji besi. Berbeda dengan pamor Prambanan yang diperole dari batu Meteor. Bongkah meteorit yang relatif besar pernah jatuh di sekitar candi Prambanan pada abad 18. Keris Lombok diprediksi memakai pamor Prambanan karena penamnpilan pamor yang tampak cemerlang. Bernuansa warna putih kebiru-biruan.
Analisa pribadi
Secara perlahan tapi pasti, saya-pun kian memendam penasaran. Tertarik akibat tema pertemuan 2 lintas budaya perkerisan di NTB. Gali kajian ini tentu saja berupa opini terselubung minim pengetahuan, starting poin dialog dengan si bule Belanda. Agar sedikit terkuak nilai sejarah silam yang membatasi bak “tabir misteri” yang ingin segera saya pecahkan. Sehingga tidak terjebak antara realita dan mitos. Sekalipun gak bisa di pungkiri, pada sejarah kadang termuat konten legenda, mitos dan sejenisnya. Yuk mulai….,
Ajang rebutan “pamor” kekuasaan,
Bertemu-nya 2 lintas budaya tadi setidaknya sudah cukup jadi indikator, bahwa memang telah terjadi “hasrat” ekspansi dari 2 kutub otorita kekuasaan. Selalu diwarnai nuansa politis, teori kekuasaan. Masing-masing kubu berkehendak raih kredit poin dari sebuah obsesi.
Tidak jauh dari apa yang terkandung pada filosofi pamor (motif) keris itu sendiri. Motif adalah pola, kian sisip daya setelah membentuk “motivasi”. Terlebih bila pamor/motif kian dipercaya memberikan pengaruh magis bagi pemilik keris. Contoh-nya, pamor Beras Wutah dipercaya mampu memberikan efek daya magis berupa kesuburan dan ketentraman bagi pemiliknya. Next, pamor Susun Gunung berimbas pada peningkatan yang kian menanjak(karir maupun pangkat). Diciptakan hanya bagi pegangan kaum bangsawan. Sekaligus dibumbui dogma kasta… strata pamer-pamor.
kian ter-motivasi berarti semakin mengIMANi. Kadang mitos berhasil membutakan nurani. Trust me!!!
Terkait fungsi, keris juga dianggap sebagai Tanda atau Lambang Kekuasaan (Keris NTB-hal.28). Raja selaku pemegang kekuasaan tertinggi memiliki wilayah territorial kerajaan. Keris adalah salah satu maskot kekuasaan. Ketika terjadi pergantian takhta generasi juga dilakukan prosesi simbolis alih kekuasaan berupa penyerahan keris.
Saya-pun dulu (tahun 90an) kerap heran, ketika pernah terdengar isu bahwa ada ditemukan makam GajahMada di tanah mbojo (Bima-Sumbawa). Padahal menurut sejarah beliau itu moksa. Gaya wafat me-raib diri. Yang sejak itu bermunculan isu by isu, makam beliau nongol di beberapa tempat di wilayah Indonesia timur. Benarkah sakti mandraguna??? Atau memang sengaja diGUNAkan demi kepentingan rana politik yang bercokol saat itu. Demi sesuatu creaTIPs - alibi mitos……,
Waiting something boring…., tapi ada juga hikmah yang muncul belakangan. Terbui penasaran, kini kian terkuak dengan munculnya berita di Koran lokal, Lombok Post. Disekitar tahun 2008, selagi Gubernur Lalu Srinata masih aktif menjabat. Mendapat sebuah anugrah kehormatan KERIS dari dinasti keraton Solo. Inti materi, dianggap sebagai figure yang berhasil melestarikan budaya lokal setempat. Sebulan kemudian, muncul feature Koran, bahwa, lagi-lagi pak Srinata mendapat hibah sejenis. KERIS dari pemerintah daerah – otorita Sulawesi Selatan. Juga dianggap sebagai figure konservasi budaya lokal.
Sirkulasi fluktuatif sebagai gerbang afiliasi sebuah otorita? Entahlah… ini sekedar opini, bagi daerah yang dulu pernah bergelar Sunda Kecil. Kecil-Kecil Lombok Rawit!!!!
Keris dan kenapa selalu harus Keris? Etimologi dari varian bahasa, Curiga…kadutan…keris…sampari. Terlebih comot English singular - Creese (serapan asli bahasa IndONEsia), plural - jamak berarti Creeses. Semoga tidak terpleset silap lidah, sebut “KRISIS”... Krisis kepercayaan diri… krisis karakter. Silak tampil luwih ber-budaya… punyai BUDI miliki DAYA.
Akhiru kalam, secara halus saya ingin hanya ingin berujar. Mada (saya=bahasa Bima) bukanlah Gajah, laksana hewan “mitologi” kendaraan politik. Berbelalai panjang, kuping lebar-tipis, tubuh bengkak, bjibun tenaga. Sejak era Mammot (gajah rumbai) bernasib tunggangan manusia.
NOte :
untuk lebih spesifik wacana mengenai senjata tradisional khas Lombok dan Sumbawa, silahkan kunjungi blog saya yang lain di http://butik-etnik.blogspot.com/
Pesan moral…pesan Normal,
3 komentar:
Menarik..saya suka sekali membacanya
Menarik..saya suka sekali membacanya
Posting Komentar