Baru saja terlewati momen ultah gingga ke-7. Bertepatan perayaan nyepi, jumat 2 hari sebelumnya. Itupun tanpa hidangan tart dan tiup lilin seperti taon sebelumnya. Hanya menyempatkan main di fun-city, have fun ala kadar bocah. Dan syukurlah. Pasukan cilik saya, kali ini gak terlalu banyak nuntut. Hanya minta kesempatan mengumbar tawa di kolam bola. Itu-pun Gingga sempat kecewa, lantaran luap obsesi yang terbatasi karena libur nyepi tadi. Emosi tersendat. (Baru terpenuhi hari sabtu)
Alhasil sepanjang perjalanan balik pulang, dengan berkutat motor yg dihuni sarat penumpang. Saya harus banyak berceloteh. Sekedar mengalihkan bara kecewa si bocah sulung. Perhatian pada beberapa momen perjalanan. Gak ada yang unik. cuma lengang Mataram paska perayaan ogoh-ogoh. Mulut gang kampung hindu banyak yang tertutup, lantaran ritual pati-geni. Tak luput, sisa beberapa gelintir boneka bhuta-kala tergelok juga persis di gapura ujung. Berpalang for bidden to across. Dan ini cukup menjadi bahan kisah pembekalan pengetahuan buat Gingga.
Merintis jalur aspal. Antusias gingga lebih intens. Pada setiap perempatan besar masih tampak seliweran relawan mengumpulkan sumbangan. Demi bantuan warga wilayah Belanting - Lombok timur yang baru saja terkena bencana banjir bandang. Akibat curah hujan yang marak di 1/3 awal bulan maret. Hulu selasar atap Rinjani sebelah utara mengirim subsidi banjir berikut material pendampingnya. Mewakili reportase detil bisa baca di artikel "Banjir Bandang kembali Menenrjang Kecamatan Sambelia" (gemaalamntb.org).
Hingga tercetus ada keinginan saya untuk melihat langsung ke wilayah Belanting. Penasaran ala pewarta community jurnalism. Semangat liputan yang kambuh. Dan gingga ternyata merekam hasrat saya itu.
Minggu, 25 Maret 2012.
Dan "rongrong" itu muncul lagi sejak pagi. "Ayah, kapan kita ke Belanting?". Saya sedikit idap malas, semalam terkuras melek jatah browsing. Ngarep masa in-charge. Dan lagi-lagi, cuaca mendung ujung ufuk timur, bikin enggan, pangkat kuadrat. Dobel males-nya! Tapi gak lama... turn-on! gak tega liat Gingga yang setia dampingi saya tergolek di matras. Bola mata-nya sirat sedih. Sisi lain, pemicu-nya unik. Dilalah pecah bohlam ide. Ter-ilhami momentum, Ogah-ogahan... konotasinya kog seperti nasib boneka ogoh-ogoh jumat lalu. Terbengkalai mubazir paska rutinitas ritual. Dan saya gak pingin gingga kecewa ke-2 kali. Bisa jadi ini bakal jadi hadiah ultah gingga yang "lain". Sigap bangkit tegak. Umbar dinamika gerak. Gak peduli perih mata... tanpa basuh mandi. Jitu mengawali semangat kiprah avonturir... wake-up! brand new day....,
Meski matahari mulai tergelincir jelang nanar siang. Touring dimulai. Ada keinginan mampir pasar jelojok-Kopang. Tapi aktivitas sudah mulai berkurang, alhasil kami putuskan sekedar ganjal perut dengan santap bakso Kopang. Lumayan sekedar hangati lambung. Temperatur beranjak dingin maklum level ketinggian wilayah. Menyempatkan mampir disalah satu masjid turunan perempatan Rumeneng. Jamak-Qasar jatah zuhur-asar. Sesekali pit-stop sekedar keremus bekal camilan. Teguk usir dehidrasi. Perhitungan jarak dan jatah sisa waktu bikin saya riskan prediksi durasi tempuh. Maksimal 6 jam pulang-balik Mataram-Belanting. Dan speed motor gak bisa total geber ala single touring. Harapannya, mudahan tidak disergap gelap saat pulang nanti.
Jelang masuk pertigaan Labuan Lombok. Langit masih benderang, tapi gumpalan awan tebal dicerobong Rinjani bermuatan mendung mulai berarak arah timur laut. Ah! 100% berpeluang hujan. Sedikit kebut melintas zona lian hingga labupandan. Persis tanjakan sambelia, hujan mulai turun. Sempat saya ragu... terusin atau cukup di poin terakhir. Tapi gingga minta terus. Yah sudah, dengan berlapis ponco kami telusuri alur aspal. Hawa dingin mulai susupi tubuh. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan touring motor. Bisa jadi mereka menyalurkan bantuan sumbangan. Termasuk lalu lalang ambulance, tim SAR dan PMI. Sejauh pengamatan, semua perangkat tampak berkordinasi.
Berkungkung jas hujan, dan laju motor 30km/jam tentu saja membosankan. Dan lagi-lagi, saya musti bercerita. Tentang apapun yang eye-catching. Gerombolan domba dengan bulu dekil.. persis konotasi wedus gembel. Penggembala puluhan kerbau yang menutupi akses aspal. Termasuk ulasan kisah lokasi bekas saya ngajar di SD Tekalok (edisi 2011). Bahkan kami sempat ketemu seorang anak yang masih saya hafal wajah. Cuma lupa nama. Mengayuh laju BMX butut di dekat kantor Desa Tekalok.
Melewati batas dusun Kokok Pedik, hujan makin deras. Beberapa kiri kanan jalan mulai terlihat tumbangan pohon merefleksikan musim angin pada awal bulan maret. Dan suguhan ini sudah akrab terlihat sejak tanjakan dusun transat - wilayah pemekaran arah timur desa Sambelia dengan batas desa Labupandan. Indikator sisa banjir juga mulai teridentifikasi. Pinggiran aspal tampak genangan becek. Material gunduk tanah yang terbawa laju air. Terlebih parah adalah lintasan air yang membelah beberapa lahan perkebunan penduduk di lahan miring/slope. Terlihat seperti bentukan anak sungai kering (creek) yang baru. Lucu, sebab kontras dengan tegakan sisa pagar vegetasi pembatas. Tebangan pohon dan raung chain-saw terdengar nyaring. Beberapa warga bakal punya stok kayu bakar yang cukup. Sementara ada pula warga yang menjual pada penjual skala besar. Truk pengangkut terutama pohon berdiameter lebar seperti sengon, lainnya jati dari jenis bibit super.
Singkatanya, kami tiba di lokasi jembatan putus. Melewati sedikit gundukan bukit. Persis di sambungan patah jembatan di kali Batu Sela. Nama yang disandang dusun bersangkutan. Sesuai inisial, tempat ini memang bercokol bongkahan batu besar di beberapa tepi ruas tanjakan aspal. Tampak pada inset gambar diatas. Terlebih pada paras sungai yang menunjukkan kesan identik. Serba batu. Mengingatkan pesona negeri Flint-stone. Wilayah dominasi di sela bebatuan. Jadi sangat wajar klo dinamakan begitu.
Terkait peluang dampak banjir. Kawasan ini memang prioritas terkena limpah air bah. Pada kejadian banjir belanting edisi sebelumnya (2006). Kasus patah jembatan di lokasi yang sama juga di alami. Alasan utamanya, sebab alur "sungai" ini merupakan 'jalur' alami yang terbentuk oleh retakan paska letusan besar gunung Rinjani. Sejarah letusan tua yang belum resmi tercatat. Pastinya ledakan maha dahsyat. Hingga mampu bikin ceruk besar, kubangan kepundan / kaldera. Yang kini membentuk danau Segara Anakan. Gali-kaji sejarah erupsi dengan alibi dan analisa sederhana saja. Puncak tertinggi dari Rinjani sekarang adalah 3726 mdpl. Gak tepat juga kalo di katakan puncak (top mountain ataupun high peak) sebab rekor ketinggian tadi merupakan teras dari bilangan lingkar rim. Bibir lereng tertinggi. Dengan berpindahnya bongkah ceruk tadi, kebayang dah! betapa besar daya yang dibutuhkan. Energi dentum maha kuat! Entah dengan sekali momentum erupsi maupun proses berkelanjutan. Transfer material dan kandungan mineral baik dari aneka kategori, debu-pasir-kerakal-batu-dan bongkahan besar menyerupai ukuran gubuk hingga rumah. Seperti yang kini terlihat berserakan, sepanjang hampar lansekap pulau Lombok. Terutama di zona bagian timur.
Kembali ke bahasan utama, perihal Batu Sela. Soal banjir dan daya gerus air tentu gak bisa lepas pengaruh aksi rambah hutan di bagian hulu. Intensitas curah hujan tinggi menjadikan kombinasi seia-sekata. Kalkulasi total dampak bencana limpahan air. Biar agak relevan, ayo mendeteksi lebih intens, telaah hasil intipan tehnologi remote sensing, versi Google Earth.
Sengaja saya lingkari pola poligon warna oranye, sekedar menandai coverage dari wilayah yang notabene merupakan bentukan dari letusan Rinjani. Terlihat gamblang bahwa sobekan Kaldera Rinjani memiliki ceruk tajam mengarah ke zona timur. Jalur lelehan yang alami terbentuk. Tanda panah Merah hanya menegaskan lokasi tepat dimana Batu Sela berada. Garis liuk putih menunjukkan alur sungai. Poligon oranye ini sekaligus menandai zona yang patut di waspadai sebagai kategori kantung rawan bencana. Dulu, ada informasi menarik seputar zona bentukan eks erupsi itu. Luberan-nya membentuk pola lebar. Para geologist menyebutnya zona pola kaki bebek. Bahkan dikatakan, bahwa sebelum Rinjani meletus, paras pulau Lombok, khusus wilayah Sambelia dan Belanting tidak seperti sekarang. Konon, pihak pemerintah Belanda (lagi-lagi) memiliki 2 over-lay beda peta. Pencitraan mapping edisi pra-paska erupsi. Bahkan disebutkan komplek gili Lampu dan Gili Lalat (Lawang & Sulat) merupakan estapet prosesi pembentukan daratan melalui geliat aksi vulkanik-tektonik di tanah Lombok. Paduan Erupsi dan timbuk lempeng selasar Ring of Fire. Bagi saya ini sebuah anugerah pelajaran yang berharga, Local Geography. Dan teriring syukur pada tehnologi Remote sensing. Mengintip bumi... seolah saya lagi ongkang-ongkang di serambi Galaxy...
Zooming lagi, dan kini tampak jembatan Batu Sela. masih utuh karena ini hasil jepretan setahun sebelumnya, riwayat tertera di bawah kiri angle, imagery date :24 Agustus 2011. Tercatat dengan detil posisi geografis S : 08° 18’ 24.93” E : 116° 37’ 52.56” dan elevasi 395 Ft. Gak ada indikasi apa-apa, ini cuma bahan dasar pengenalan buat Gingga, how to used a GPS.
Next,
Kini siap pulang balik Mataram. Sudah sekian jepretan kamera saya lakukan. Uniknya, tampak 2 lokasi yang terpisah oleh patahan jembatan menjadi seperti 2 kubu terminal. Beberapa pria lokal seperti ketiban peluang rejeki. Mereka menawarkan jasa "penyebrangan" khusus untuk motor yang hendak menuju desa seberang. Sebab memang itu rute terdekat. Dibandingkan kudu ambil alur aspal lingkar di level daratan terendah.
Hujan masih turun di sekitar Batu sela hingga sekitar lian. Agak pegel juga badan dibuat. Bahu kaku fokus dikemudi masih ditambah balutan hawa dingin. Selebihnya, arak awan mendung mulai tipis. Sisi barat lombok masih tampak cerah. Terang nanar melahirkan cahaya ke-emas-an. Momen Golden magic hours, seperti istilah tehnis di bidang Fotografi. Menerobos relung-relung aspal lintas timur-barat. Gingga terkekeh. Senyum dan terbahak tiap kali mendapati penunggang motor lain melindungi pandangan mata akibat silau mentari jelang karam. Persis adegan hormat bendera... Oh, hormat sang surya. sang Hinomaru bagi bangsa jepang sana. Dan perjalanan pulang ini kami lewati dengan riang. Tanpa beban penat yang berarti. Mengejar mentari.... meninggalkan bayangan dibelakang yang memanjang. Hilang dengan sendirinya... bercampur kala senja. Jadi teringat lirik senandung "back in the Sun".
Inset terakhir adalah tulisan Gingga tentang kesan perjalanan tadi. Masuk gerbang batas kota, Sweta sudah gelap. Tiba rumah, baru terasa dera pegal. Lemas... capek lah! Sebentar lagi tergeletak. See you next trip....,
Merintis jalur aspal. Antusias gingga lebih intens. Pada setiap perempatan besar masih tampak seliweran relawan mengumpulkan sumbangan. Demi bantuan warga wilayah Belanting - Lombok timur yang baru saja terkena bencana banjir bandang. Akibat curah hujan yang marak di 1/3 awal bulan maret. Hulu selasar atap Rinjani sebelah utara mengirim subsidi banjir berikut material pendampingnya. Mewakili reportase detil bisa baca di artikel "Banjir Bandang kembali Menenrjang Kecamatan Sambelia" (gemaalamntb.org).
Hingga tercetus ada keinginan saya untuk melihat langsung ke wilayah Belanting. Penasaran ala pewarta community jurnalism. Semangat liputan yang kambuh. Dan gingga ternyata merekam hasrat saya itu.
Minggu, 25 Maret 2012.
Dan "rongrong" itu muncul lagi sejak pagi. "Ayah, kapan kita ke Belanting?". Saya sedikit idap malas, semalam terkuras melek jatah browsing. Ngarep masa in-charge. Dan lagi-lagi, cuaca mendung ujung ufuk timur, bikin enggan, pangkat kuadrat. Dobel males-nya! Tapi gak lama... turn-on! gak tega liat Gingga yang setia dampingi saya tergolek di matras. Bola mata-nya sirat sedih. Sisi lain, pemicu-nya unik. Dilalah pecah bohlam ide. Ter-ilhami momentum, Ogah-ogahan... konotasinya kog seperti nasib boneka ogoh-ogoh jumat lalu. Terbengkalai mubazir paska rutinitas ritual. Dan saya gak pingin gingga kecewa ke-2 kali. Bisa jadi ini bakal jadi hadiah ultah gingga yang "lain". Sigap bangkit tegak. Umbar dinamika gerak. Gak peduli perih mata... tanpa basuh mandi. Jitu mengawali semangat kiprah avonturir... wake-up! brand new day....,
Meski matahari mulai tergelincir jelang nanar siang. Touring dimulai. Ada keinginan mampir pasar jelojok-Kopang. Tapi aktivitas sudah mulai berkurang, alhasil kami putuskan sekedar ganjal perut dengan santap bakso Kopang. Lumayan sekedar hangati lambung. Temperatur beranjak dingin maklum level ketinggian wilayah. Menyempatkan mampir disalah satu masjid turunan perempatan Rumeneng. Jamak-Qasar jatah zuhur-asar. Sesekali pit-stop sekedar keremus bekal camilan. Teguk usir dehidrasi. Perhitungan jarak dan jatah sisa waktu bikin saya riskan prediksi durasi tempuh. Maksimal 6 jam pulang-balik Mataram-Belanting. Dan speed motor gak bisa total geber ala single touring. Harapannya, mudahan tidak disergap gelap saat pulang nanti.
Jelang masuk pertigaan Labuan Lombok. Langit masih benderang, tapi gumpalan awan tebal dicerobong Rinjani bermuatan mendung mulai berarak arah timur laut. Ah! 100% berpeluang hujan. Sedikit kebut melintas zona lian hingga labupandan. Persis tanjakan sambelia, hujan mulai turun. Sempat saya ragu... terusin atau cukup di poin terakhir. Tapi gingga minta terus. Yah sudah, dengan berlapis ponco kami telusuri alur aspal. Hawa dingin mulai susupi tubuh. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan touring motor. Bisa jadi mereka menyalurkan bantuan sumbangan. Termasuk lalu lalang ambulance, tim SAR dan PMI. Sejauh pengamatan, semua perangkat tampak berkordinasi.
Berkungkung jas hujan, dan laju motor 30km/jam tentu saja membosankan. Dan lagi-lagi, saya musti bercerita. Tentang apapun yang eye-catching. Gerombolan domba dengan bulu dekil.. persis konotasi wedus gembel. Penggembala puluhan kerbau yang menutupi akses aspal. Termasuk ulasan kisah lokasi bekas saya ngajar di SD Tekalok (edisi 2011). Bahkan kami sempat ketemu seorang anak yang masih saya hafal wajah. Cuma lupa nama. Mengayuh laju BMX butut di dekat kantor Desa Tekalok.
Melewati batas dusun Kokok Pedik, hujan makin deras. Beberapa kiri kanan jalan mulai terlihat tumbangan pohon merefleksikan musim angin pada awal bulan maret. Dan suguhan ini sudah akrab terlihat sejak tanjakan dusun transat - wilayah pemekaran arah timur desa Sambelia dengan batas desa Labupandan. Indikator sisa banjir juga mulai teridentifikasi. Pinggiran aspal tampak genangan becek. Material gunduk tanah yang terbawa laju air. Terlebih parah adalah lintasan air yang membelah beberapa lahan perkebunan penduduk di lahan miring/slope. Terlihat seperti bentukan anak sungai kering (creek) yang baru. Lucu, sebab kontras dengan tegakan sisa pagar vegetasi pembatas. Tebangan pohon dan raung chain-saw terdengar nyaring. Beberapa warga bakal punya stok kayu bakar yang cukup. Sementara ada pula warga yang menjual pada penjual skala besar. Truk pengangkut terutama pohon berdiameter lebar seperti sengon, lainnya jati dari jenis bibit super.
Singkatanya, kami tiba di lokasi jembatan putus. Melewati sedikit gundukan bukit. Persis di sambungan patah jembatan di kali Batu Sela. Nama yang disandang dusun bersangkutan. Sesuai inisial, tempat ini memang bercokol bongkahan batu besar di beberapa tepi ruas tanjakan aspal. Tampak pada inset gambar diatas. Terlebih pada paras sungai yang menunjukkan kesan identik. Serba batu. Mengingatkan pesona negeri Flint-stone. Wilayah dominasi di sela bebatuan. Jadi sangat wajar klo dinamakan begitu.
Terkait peluang dampak banjir. Kawasan ini memang prioritas terkena limpah air bah. Pada kejadian banjir belanting edisi sebelumnya (2006). Kasus patah jembatan di lokasi yang sama juga di alami. Alasan utamanya, sebab alur "sungai" ini merupakan 'jalur' alami yang terbentuk oleh retakan paska letusan besar gunung Rinjani. Sejarah letusan tua yang belum resmi tercatat. Pastinya ledakan maha dahsyat. Hingga mampu bikin ceruk besar, kubangan kepundan / kaldera. Yang kini membentuk danau Segara Anakan. Gali-kaji sejarah erupsi dengan alibi dan analisa sederhana saja. Puncak tertinggi dari Rinjani sekarang adalah 3726 mdpl. Gak tepat juga kalo di katakan puncak (top mountain ataupun high peak) sebab rekor ketinggian tadi merupakan teras dari bilangan lingkar rim. Bibir lereng tertinggi. Dengan berpindahnya bongkah ceruk tadi, kebayang dah! betapa besar daya yang dibutuhkan. Energi dentum maha kuat! Entah dengan sekali momentum erupsi maupun proses berkelanjutan. Transfer material dan kandungan mineral baik dari aneka kategori, debu-pasir-kerakal-batu-dan bongkahan besar menyerupai ukuran gubuk hingga rumah. Seperti yang kini terlihat berserakan, sepanjang hampar lansekap pulau Lombok. Terutama di zona bagian timur.
Kembali ke bahasan utama, perihal Batu Sela. Soal banjir dan daya gerus air tentu gak bisa lepas pengaruh aksi rambah hutan di bagian hulu. Intensitas curah hujan tinggi menjadikan kombinasi seia-sekata. Kalkulasi total dampak bencana limpahan air. Biar agak relevan, ayo mendeteksi lebih intens, telaah hasil intipan tehnologi remote sensing, versi Google Earth.
Sengaja saya lingkari pola poligon warna oranye, sekedar menandai coverage dari wilayah yang notabene merupakan bentukan dari letusan Rinjani. Terlihat gamblang bahwa sobekan Kaldera Rinjani memiliki ceruk tajam mengarah ke zona timur. Jalur lelehan yang alami terbentuk. Tanda panah Merah hanya menegaskan lokasi tepat dimana Batu Sela berada. Garis liuk putih menunjukkan alur sungai. Poligon oranye ini sekaligus menandai zona yang patut di waspadai sebagai kategori kantung rawan bencana. Dulu, ada informasi menarik seputar zona bentukan eks erupsi itu. Luberan-nya membentuk pola lebar. Para geologist menyebutnya zona pola kaki bebek. Bahkan dikatakan, bahwa sebelum Rinjani meletus, paras pulau Lombok, khusus wilayah Sambelia dan Belanting tidak seperti sekarang. Konon, pihak pemerintah Belanda (lagi-lagi) memiliki 2 over-lay beda peta. Pencitraan mapping edisi pra-paska erupsi. Bahkan disebutkan komplek gili Lampu dan Gili Lalat (Lawang & Sulat) merupakan estapet prosesi pembentukan daratan melalui geliat aksi vulkanik-tektonik di tanah Lombok. Paduan Erupsi dan timbuk lempeng selasar Ring of Fire. Bagi saya ini sebuah anugerah pelajaran yang berharga, Local Geography. Dan teriring syukur pada tehnologi Remote sensing. Mengintip bumi... seolah saya lagi ongkang-ongkang di serambi Galaxy...
Zooming lagi, dan kini tampak jembatan Batu Sela. masih utuh karena ini hasil jepretan setahun sebelumnya, riwayat tertera di bawah kiri angle, imagery date :24 Agustus 2011. Tercatat dengan detil posisi geografis S : 08° 18’ 24.93” E : 116° 37’ 52.56” dan elevasi 395 Ft. Gak ada indikasi apa-apa, ini cuma bahan dasar pengenalan buat Gingga, how to used a GPS.
Next,
Kini siap pulang balik Mataram. Sudah sekian jepretan kamera saya lakukan. Uniknya, tampak 2 lokasi yang terpisah oleh patahan jembatan menjadi seperti 2 kubu terminal. Beberapa pria lokal seperti ketiban peluang rejeki. Mereka menawarkan jasa "penyebrangan" khusus untuk motor yang hendak menuju desa seberang. Sebab memang itu rute terdekat. Dibandingkan kudu ambil alur aspal lingkar di level daratan terendah.
Hujan masih turun di sekitar Batu sela hingga sekitar lian. Agak pegel juga badan dibuat. Bahu kaku fokus dikemudi masih ditambah balutan hawa dingin. Selebihnya, arak awan mendung mulai tipis. Sisi barat lombok masih tampak cerah. Terang nanar melahirkan cahaya ke-emas-an. Momen Golden magic hours, seperti istilah tehnis di bidang Fotografi. Menerobos relung-relung aspal lintas timur-barat. Gingga terkekeh. Senyum dan terbahak tiap kali mendapati penunggang motor lain melindungi pandangan mata akibat silau mentari jelang karam. Persis adegan hormat bendera... Oh, hormat sang surya. sang Hinomaru bagi bangsa jepang sana. Dan perjalanan pulang ini kami lewati dengan riang. Tanpa beban penat yang berarti. Mengejar mentari.... meninggalkan bayangan dibelakang yang memanjang. Hilang dengan sendirinya... bercampur kala senja. Jadi teringat lirik senandung "back in the Sun".
Inset terakhir adalah tulisan Gingga tentang kesan perjalanan tadi. Masuk gerbang batas kota, Sweta sudah gelap. Tiba rumah, baru terasa dera pegal. Lemas... capek lah! Sebentar lagi tergeletak. See you next trip....,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar