saya cuma dapetin info terkini. Taman Nasional Komodo (TNK) dalam ajang New Sevens Wonder of Nature saat ini berhasil masuk urutan 21 dari 28 finalis. Nelangsa ? bisa jadi, tapi bila 1 digit lagi saja turun, berarti TNK* berhasil masuk ranking sensasional. Urutan 7 dari Belakang!!!! Gak percaya silahkan hitung sendiri, versi count-down.
......, sekian hari koma aksi pena, Mendadak ada berita menarik. Tanggal 25 Maret kemarin telah menetas sebanyak 25 telur komodo di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Sebuah bilangan keramat, sinyalir tanggal dan jumlah individu hewan melata yang baru hadir. Sebuah poin cerah tentu saja. Mengingat kontroversial kasus yang mengiringi nasib dan status satwa langka itu sendiri. Tidak saja di tanah asalnya, tapi musabab eksistensi sebagai khas endemik purba yang di akui sebagai world's heritage. Dilansir pihak internal KBS*, kini gradasi statistik koleksi komodo meningkat menjadi 69 ekor. Populasi terbanyak di antara koleksi satwa lainnya. Simak wacana terkait di yang berjudul '25 Telur komodo itu akhirnya Menetas'.
Lalu bagaimana dengan nasib pulau komodo? Ajang pilih the New 7 wonders. Tidak sedikit berbagai komunitas maya berpartisipasi ikut berupaya mensukseskan perihal nasib TNK di forum Voting internasional tadi. Seperti halnya galang supporter bagi para anggota NGI*. Saya-pun tergerak sebagai partisan. Sekaligus terlanjur skeptis sejak awal. Masalahnya sederhana, ajang polling ini berbasis subsidi vote via internet. Modus operandi yang belum sepenuhnya bisa di katakan jujur. Semata berdasar total jumlah suara responden, bisa multi suara dari 1 oknum partisan sama. Cenderung subyektif. Bahkan saya kata-in mirip ajang pilih idola cilik. Perolehan data kolektif sms fans pendukung. Obyek wisata skala internasional penilainnya jadi gak bisa obyektif. Lagi, ditambah seberapa banyak sih? belum pasti angka warga kita yang melek Internet.
Kembali pada cikal muasal the New 7 wonders. Momentum ini dilakukan atas skenario dan dorongan sebagian negara tertentu. Internasional Tourism Board, panitia yayasan internasional ambil langkah taktis. Apakah benar, sinkronisasi akibat sinyalemen faktor cemburu, bahwasa-nya promosi pariwisata segelintir negara telah di untung-kan oleh status "7 Keajaiban Dunia", versi lama.
Aneh bin ajaib, selagi wacana ini bergulir, Berbilang pirsawan luangkan diri berbaur kolektif dukung masa depan komodo. Mendadak muncul dilematis lain. Polemik dalam negri, entah berlatar skenario atau alibi apa. Memindahkan komodo ke pulau Dewata, Bali.... dan lagi-lagi Bali. What's going on?
Dalih Konservasi Genetik...,
Ternyata berupa headline gempar. Wacana pemindahan spesies komodo ke Bali adalah atas dalil berjudul upaya konservasi genetis satwa eksotis tersebut. Telusur jejak kasus, bahkan konon telah mendapat rekomendasi dari menteri Pariwisata dan Budaya, bapak Jero Wacik. Tentu saja diusung oleh departemen kehutanan, melalui sub-ordinat BKSDA. Lembaga otorita pengelolaan & managemen pengawasan TNK. Dulu kinerja lapangan pernah di back-up oleh yayasan amrik bernama TNC*. Menarik lagi, dalih judul tadi di embeli dengan peluang pengelolaan kawasan pulau Komodo (dan mungkin zona sekitarnya) menjadi konsensus lingkar tambang (mining). Tolak ukur samar tanpa skala prioritas gamblang. Serta-merta, gelombang kritik muncul dari berbagai pihak. Terutama dari komunitas lokal NTT*, terkait nilai subsidi kas yang tidak kecil bagi PAD. Kenapa harus bali lagi pak Jero Wacik ????
Bali, menurut jargon terminologi umum adalah 'etalase' Indonesia. Miniatur Indonesia, kalau gak mau disebut TMII jilid 2. Dan ini tidak bisa di pungkiri. Aktivasi promo gencar sudah lebih dikenal, jauh meninggalkan daerah lain. Namun apakah poin ini lantas memuluskan usung wacana yang hendak di realisasikan. Konservasi genetis... tapi dibalik itu mengundang kans ekploitasi habitat asli bagi hewan endemik. Apakah Bali bisa dianggap sebagai lahan representatif ? atau semata tujuan bisnis komersial, tambang emas pariwisata. Menciptakan miniatur resmi atas nama konservasi. Kian getol mendulang kans kunjungan wisman dan domestik. Sehingga gak ada porsi jatah untuk daerah lain. Kebiri nuansa daya tarik alamiah beribu wajah nusantara.
Bahkan sempat, dalam ajang dialog interaktif antar sesama anggota forum maya, National Geographic Indonesia, sinis saya sindir. Bukan maksud tebar amarah, tapi lebih pada ajakan tilik-kuak kasus. Dalih saya begini...., layakkah Bali? sementara secara fakta tidak mampu (gak becus) melindungi satwa endemik mereka sendiri. Sebut saja Panthera tigris balica, jenis harimau eksotis yang terlanjur di labeli PUNAH. Atau stok aves eksotik kategori Appendix CITES, jalak bali. Nama latin leocopsar rothschildi. Pernah terjadi kasus pencurian di pusat penangkaran - TNBB. Bahkan kasus pencurian masal sejumlah jalak ini belum terungkap.
Gara-gara celetuk ini, pihak admin NGI cuma bisa bilang... harap jangan emosi, cool-down, Padahal ,aslinya saya sedang terkekeh. Sambil lintas kenang, terbayang alun lirik Yopie Latul, rilis 80-an... lagu "Kembalikan Bali-ku" karya Guruh.
Dalih Travel warning...,
Beberapa opini menyebutkan, anjloknya rating pulau Komodo terkait isu akibat ulah terorist, akibat masih subur bercokol di bumi Indonesia. Tinjauan implikasi yang bisa jadi benar. Hingga efek pada pelarangan wisatawan dari pemerintah negara bersangkutan. Tapi gak absolut. Buktinya tetap saja kita berkaca pada bali. Sekalipun mengalami 2 kali masa traumatik, Bom Bali 1 & 2, tetap saja wisatawan doyan kunjung.
Bersebelahan tetangga dengan bali, NTB memang agak prihatin. Jadi teringat jargon lama Nasib Tergantung Bali. Boleh saja, tapi gak lumrah kalo mendalami situasi faktualnya. Ada saja laporan celetuk tamu yang kadang konyol (mungkin jenis turis pandir). Di Lombok gak tersedia pertokoan. Fasilitas minim. Lombok pusatnya ilmu hitam. Bla..bla..bla..bla....,
Bahkan celetuk para penjaja koran di pelabuhan Feri penyeberangan PadangBai - Lembar (Bali - Lombok) suka memperbesar wacana. Setiap berita ekspos sekedar perang kampung yang ada di halaman koran. Langsung jadi bahan headline news..., mulut ke mulut. Nerocos sekenanya di hadapan para tamu klasifikasi back-packer di geladak Feri. Tadinya saya pikir ini ungkapan biasa 'trik' agar korannya terbeli. Tiga kali kans saya hantar perjalanan. Celetuk model itu ternyata berulang. Barulah saya paham, ini memang modus operandi yang demikian rapi di rencanakan. Hebatnya, dari berbagai multi kepentingan dan kalangan. Se-ia sekata...tanpa pandang kasta.
Juntrungnya kian gamblang saat saya ikut dalam pelatihan & kursus pemandu wisata selam. Undangan Gahawisri-Bali tahun 1996. keluarlah pernyataan "ringan" kepala dinas Parpostel Bali. Pembukaan acara malam perdana, bahwa apapun situasi-nya, bali akan mempertahankan angka kunjung wisatawannya. Berkaitan dengan durasi lama kunjung para tamu dan tingkat hunian. Sebisa mungkin diupayakan kian menanjak.. berkurang NO WAY!!!!. Halal segala cara di tempuh? Silahkan menilai sendiri. Gak masalah korbankan obyek wisata lain. Alibi dibalik slogan.. obyek wisata ~ obyek penderita.
Kepala Dinas parpostel itu asli orang Padang - Sumatera Barat. Bagi saya ungkapan tadi memang sengaja di lontarkan pada peserta yang notabene ada beberapa dari daerah lain sebgai peserta. Nasehat terselip dalam orasi singkat. Waspadai aset wisata daerah masing-masing!!!!
Pesan Moral :
Saya pribadi terjemahkan begini...., kita sebagai konotasi satu bangsa boleh jadi ikut bangga dengan keberadaan Taman Mini Indonesia Indah. Atau terkesan daya tarik polutan magis sensasi pulau Dewata. Tapi ini bukan berarti akan (Di LARANG KERAS) memangkas, mendeskriminasi, mendiskreditkan, mengkerdilkan, atau-pun memBonsai nalar sehat dalam sikapi cara pandang kita terhadap Wawasan Nusantara.
Ayo..lebih MAWAS diri akan potensi KAWAS-an "nagari" sendiri...
KeyNote :
KBS : kebun Binatang Surabaya
TNK : Taman Nasional Komodo
TNC : The Nature Conservancy
NTT : Nusa tenggara Timur.
PAD : Pendapatan Asli Daerah
TMII : Taman Mini Indonesia Indah
TNBB : Taman Nasional Bali Barat
BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam
NGI : National Geography Indonesia
......, sekian hari koma aksi pena, Mendadak ada berita menarik. Tanggal 25 Maret kemarin telah menetas sebanyak 25 telur komodo di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Sebuah bilangan keramat, sinyalir tanggal dan jumlah individu hewan melata yang baru hadir. Sebuah poin cerah tentu saja. Mengingat kontroversial kasus yang mengiringi nasib dan status satwa langka itu sendiri. Tidak saja di tanah asalnya, tapi musabab eksistensi sebagai khas endemik purba yang di akui sebagai world's heritage. Dilansir pihak internal KBS*, kini gradasi statistik koleksi komodo meningkat menjadi 69 ekor. Populasi terbanyak di antara koleksi satwa lainnya. Simak wacana terkait di yang berjudul '25 Telur komodo itu akhirnya Menetas'.
Lalu bagaimana dengan nasib pulau komodo? Ajang pilih the New 7 wonders. Tidak sedikit berbagai komunitas maya berpartisipasi ikut berupaya mensukseskan perihal nasib TNK di forum Voting internasional tadi. Seperti halnya galang supporter bagi para anggota NGI*. Saya-pun tergerak sebagai partisan. Sekaligus terlanjur skeptis sejak awal. Masalahnya sederhana, ajang polling ini berbasis subsidi vote via internet. Modus operandi yang belum sepenuhnya bisa di katakan jujur. Semata berdasar total jumlah suara responden, bisa multi suara dari 1 oknum partisan sama. Cenderung subyektif. Bahkan saya kata-in mirip ajang pilih idola cilik. Perolehan data kolektif sms fans pendukung. Obyek wisata skala internasional penilainnya jadi gak bisa obyektif. Lagi, ditambah seberapa banyak sih? belum pasti angka warga kita yang melek Internet.
Kembali pada cikal muasal the New 7 wonders. Momentum ini dilakukan atas skenario dan dorongan sebagian negara tertentu. Internasional Tourism Board, panitia yayasan internasional ambil langkah taktis. Apakah benar, sinkronisasi akibat sinyalemen faktor cemburu, bahwasa-nya promosi pariwisata segelintir negara telah di untung-kan oleh status "7 Keajaiban Dunia", versi lama.
Aneh bin ajaib, selagi wacana ini bergulir, Berbilang pirsawan luangkan diri berbaur kolektif dukung masa depan komodo. Mendadak muncul dilematis lain. Polemik dalam negri, entah berlatar skenario atau alibi apa. Memindahkan komodo ke pulau Dewata, Bali.... dan lagi-lagi Bali. What's going on?
Dalih Konservasi Genetik...,
Ternyata berupa headline gempar. Wacana pemindahan spesies komodo ke Bali adalah atas dalil berjudul upaya konservasi genetis satwa eksotis tersebut. Telusur jejak kasus, bahkan konon telah mendapat rekomendasi dari menteri Pariwisata dan Budaya, bapak Jero Wacik. Tentu saja diusung oleh departemen kehutanan, melalui sub-ordinat BKSDA. Lembaga otorita pengelolaan & managemen pengawasan TNK. Dulu kinerja lapangan pernah di back-up oleh yayasan amrik bernama TNC*. Menarik lagi, dalih judul tadi di embeli dengan peluang pengelolaan kawasan pulau Komodo (dan mungkin zona sekitarnya) menjadi konsensus lingkar tambang (mining). Tolak ukur samar tanpa skala prioritas gamblang. Serta-merta, gelombang kritik muncul dari berbagai pihak. Terutama dari komunitas lokal NTT*, terkait nilai subsidi kas yang tidak kecil bagi PAD. Kenapa harus bali lagi pak Jero Wacik ????
Bali, menurut jargon terminologi umum adalah 'etalase' Indonesia. Miniatur Indonesia, kalau gak mau disebut TMII jilid 2. Dan ini tidak bisa di pungkiri. Aktivasi promo gencar sudah lebih dikenal, jauh meninggalkan daerah lain. Namun apakah poin ini lantas memuluskan usung wacana yang hendak di realisasikan. Konservasi genetis... tapi dibalik itu mengundang kans ekploitasi habitat asli bagi hewan endemik. Apakah Bali bisa dianggap sebagai lahan representatif ? atau semata tujuan bisnis komersial, tambang emas pariwisata. Menciptakan miniatur resmi atas nama konservasi. Kian getol mendulang kans kunjungan wisman dan domestik. Sehingga gak ada porsi jatah untuk daerah lain. Kebiri nuansa daya tarik alamiah beribu wajah nusantara.
Bahkan sempat, dalam ajang dialog interaktif antar sesama anggota forum maya, National Geographic Indonesia, sinis saya sindir. Bukan maksud tebar amarah, tapi lebih pada ajakan tilik-kuak kasus. Dalih saya begini...., layakkah Bali? sementara secara fakta tidak mampu (gak becus) melindungi satwa endemik mereka sendiri. Sebut saja Panthera tigris balica, jenis harimau eksotis yang terlanjur di labeli PUNAH. Atau stok aves eksotik kategori Appendix CITES, jalak bali. Nama latin leocopsar rothschildi. Pernah terjadi kasus pencurian di pusat penangkaran - TNBB. Bahkan kasus pencurian masal sejumlah jalak ini belum terungkap.
Gara-gara celetuk ini, pihak admin NGI cuma bisa bilang... harap jangan emosi, cool-down, Padahal ,aslinya saya sedang terkekeh. Sambil lintas kenang, terbayang alun lirik Yopie Latul, rilis 80-an... lagu "Kembalikan Bali-ku" karya Guruh.
Dalih Travel warning...,
Beberapa opini menyebutkan, anjloknya rating pulau Komodo terkait isu akibat ulah terorist, akibat masih subur bercokol di bumi Indonesia. Tinjauan implikasi yang bisa jadi benar. Hingga efek pada pelarangan wisatawan dari pemerintah negara bersangkutan. Tapi gak absolut. Buktinya tetap saja kita berkaca pada bali. Sekalipun mengalami 2 kali masa traumatik, Bom Bali 1 & 2, tetap saja wisatawan doyan kunjung.
Bersebelahan tetangga dengan bali, NTB memang agak prihatin. Jadi teringat jargon lama Nasib Tergantung Bali. Boleh saja, tapi gak lumrah kalo mendalami situasi faktualnya. Ada saja laporan celetuk tamu yang kadang konyol (mungkin jenis turis pandir). Di Lombok gak tersedia pertokoan. Fasilitas minim. Lombok pusatnya ilmu hitam. Bla..bla..bla..bla....,
Bahkan celetuk para penjaja koran di pelabuhan Feri penyeberangan PadangBai - Lembar (Bali - Lombok) suka memperbesar wacana. Setiap berita ekspos sekedar perang kampung yang ada di halaman koran. Langsung jadi bahan headline news..., mulut ke mulut. Nerocos sekenanya di hadapan para tamu klasifikasi back-packer di geladak Feri. Tadinya saya pikir ini ungkapan biasa 'trik' agar korannya terbeli. Tiga kali kans saya hantar perjalanan. Celetuk model itu ternyata berulang. Barulah saya paham, ini memang modus operandi yang demikian rapi di rencanakan. Hebatnya, dari berbagai multi kepentingan dan kalangan. Se-ia sekata...tanpa pandang kasta.
Juntrungnya kian gamblang saat saya ikut dalam pelatihan & kursus pemandu wisata selam. Undangan Gahawisri-Bali tahun 1996. keluarlah pernyataan "ringan" kepala dinas Parpostel Bali. Pembukaan acara malam perdana, bahwa apapun situasi-nya, bali akan mempertahankan angka kunjung wisatawannya. Berkaitan dengan durasi lama kunjung para tamu dan tingkat hunian. Sebisa mungkin diupayakan kian menanjak.. berkurang NO WAY!!!!. Halal segala cara di tempuh? Silahkan menilai sendiri. Gak masalah korbankan obyek wisata lain. Alibi dibalik slogan.. obyek wisata ~ obyek penderita.
Kepala Dinas parpostel itu asli orang Padang - Sumatera Barat. Bagi saya ungkapan tadi memang sengaja di lontarkan pada peserta yang notabene ada beberapa dari daerah lain sebgai peserta. Nasehat terselip dalam orasi singkat. Waspadai aset wisata daerah masing-masing!!!!
Pesan Moral :
Saya pribadi terjemahkan begini...., kita sebagai konotasi satu bangsa boleh jadi ikut bangga dengan keberadaan Taman Mini Indonesia Indah. Atau terkesan daya tarik polutan magis sensasi pulau Dewata. Tapi ini bukan berarti akan (Di LARANG KERAS) memangkas, mendeskriminasi, mendiskreditkan, mengkerdilkan, atau-pun memBonsai nalar sehat dalam sikapi cara pandang kita terhadap Wawasan Nusantara.
Ayo..lebih MAWAS diri akan potensi KAWAS-an "nagari" sendiri...
KeyNote :
KBS : kebun Binatang Surabaya
TNK : Taman Nasional Komodo
TNC : The Nature Conservancy
NTT : Nusa tenggara Timur.
PAD : Pendapatan Asli Daerah
TMII : Taman Mini Indonesia Indah
TNBB : Taman Nasional Bali Barat
BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam
NGI : National Geography Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar