Judul tadi terkesan reaktif? Mudahan saja! Target mendasar setidaknya bisa menggelitik minat baca. Sekedar upaya kuat alibi, silahkan ikuti penjabaran naratif berikut….,
Sahid Legi, 1 Desember 2008
Ajang nimbrung kali ini adalah Rapat Kordinasi Pengembangan Destinasi Pariwisata. Dihadiri hampir 50 peserta wakil dari Instansi dinas terkait Kebudayaan dan Pariwisata (Kota dan Kabupaten), Asosiasi pelaku pariwisata..ada PHRI dan ASITA. Saya sendiri mewakili atas nama Gahawisri-NTB. Berharap bisa seperti imbauan sebagai “peserta aktif”, namun terkendala padat jabaran materi dan kans unjuk diri via tanya yang tertunda. Ter-eliminir jatah sirkulasi diskusi. Daripada teronggok bagai sampah di benak, mendingan saya tuangkan sebagai sajian artikel di blog pribadi.
Kredit Poin GAIRAH
Ada beberapa poin menarik dari sekian lintas alur materi dialogis :
· Upaya ini merupakan gerakan pertahankan membangun citra wajah kepariwisataan di NTB, sebagai salah satu destinasi di segitiga emas.
· Ada sinyalemen merupakan era kebangkitan pariwisata NTB tahap 2, tanpa unsur dompleng kemajuan pariwisata daerah lain, terutama BALI sebagai tetangga dekat.
· Mengupayakan agar penerapan UU anti pornografi tidak berbenturan dengan muatan budaya lokal.
· Menciptakan wisata berspektif religious dengan penyesuaian pakem terapan.
· Ada dukungan Pusat untuk pengembangan obyek pariwisata di Lombok, salah satu-nya adalah komplek air terjun Benang Stokel.
Capaian poin tadi bukanlah tanpa diwarnai usaha keras dari pihak-pihak terkait. sebagaimana sempat tercurahkan alasan mengapa harus kian antusias membangun citra NTB. Dua cipratan angin segarnya berbunyi begini…, Cruise Rotterdam dalam waktu dekat akan merapat di Lombok. Bakal ada 900 turis yang akan melakukan aksi wisata di beberapa obyek kunjung, entah sebagai sight seeing ataupun program city tour. Lain-nya, terus terang masih bikin saya penasaran, bahwa Senggigi dinyatakan menempati rating ke-4 dalam daftar kunjung wisman. Entah oleh pihak Tourism Board mana sebagai acuan referensi.
Apa yang bikin GERAH…
Unek-unek saya berikut ini terkait dengan jabaran makalah dari pihak wakil ASITA-NTB, judul tebalnya Pola Pengembangan Destinasi Pariwisata NTB *Terpadu & Seimbang – Fokus & Berkelanjutan* dipertegas tebal underline RESULT ORIENTED. Tepatnya makalah di halaman 4.
Bali sebagai destinasi Pariwisata Indonesia. - 5,7 juta pengunjung VS 450ribu pengunjung – 25 menit jarak tempuh penerbangan, keragaman budaya kombinasi Bali, Sasak, Samawa dan Mbojo, alam laut dan gunung yang spektakuler, namun, mengapa NTB hanya menghasilkan 7.89% dibandingkan Bali?
Ucapan bapak Asita yang masih saya inget : “Apa yang salah dengan Kita….???”
Haruskah melempar “kesalahan” ini pada diri kita sendiri, lalu bermuara akhir pada pola pikir skeptis ironis-nya kepariwisataan NTB pada umum-nya? Satu sisi bolehlah, sebagai tempat kita berkaca pada sejarah salah kelola. Contoh kasus pemberian ijin ber-operasi Bounty Cruise hampir dasawarsa silam. Bisnis transportasi Poros Meno-Benoa, pemiliknya sekaligus kantongi ijin dirikan hotel cukup artistik di pesisir timur gili Meno. Pelabuhan apungnya (tongkang)persis depan hotel, dihubungkan alur panjang Jetty menjorok kedalaman tubir. Padahal kawasan disitu merupakan Zona Konservasi, artinya mesti minim aktifitas proteksi daya dukung lingkungan. Belum cukup! Masih ada lagi lokasi labuh di lingkar teluk Mangsit. Antisipasi angkutan tamu luar 3 gili yang minat jelajah via laut ke Benoa. Orientasi efektif-nya berupa diskon harga tiket. Rianglah para makelar dapat tips 100ribu/penumpang…nyaris semua penggiat wisata ktiban rejeki nomplok oleh kebijakan tersebut. Saya lupa nasib Mabua Express, saat itu jelang bubar atau terseok jalani bisnis sejenis. Tiket penerbangan yang masih harga standar di buat merana. Kuning BOUNTY memang benar-benar bikin silau…,
Tidak perlu sebut nama otorita pemberi ijin tersebut, cukuplah melihat dampak-nya sebagai bahan pelajaran berharga. Kenang tatap terakhir, kala rebak kasus 171, Mataram kelam! Bergegas saya duduk terpengkur di konter Rinjani Divers - Hotel Intan Laguna. Meratap dalam… bakal seperti apa nanti-nya sirkulasi kunjung tamu kami yang hanya andalkan ala ringkas High Seasonable! Suasana hotel senyap….tampak sebagian tourist tergopoh tuju pantai lengkap bagasi. Saya sempat ikut bantu angkat jinjingan bell-boy yang sarat muatan. Koki-pun rangkap tugas jadi bell-boy!? Ternyata jauh ditengah ambang ceruk laut sudah menanti Beauty-BOUNTY siap aksi evakuasi. Lengkap sudah hati saya miris!
Sisi baiknya, tongkang yang pernah jadi resto apung mereka kini di tenggelamkan. Pancang ikatan ada yang putus akibat terjangan ombak angin barat. Ubah status artificial depth attribute, man-made DIVE point ...seolah Ship wreck.
Cuma 25 menit flight Lombok-Bali, ada 8 kali penerbangan. Promo yang acap disebutkan. Tapi apakah sanggup dongkrak minat kunjung wisatawan? Faktanya dalam satu flight yang pernah saya alami seat hanya terisi kurang dari 10 passangers. Bukan jaminan sederhana, upaya keruk kurs asing mengalir pada kas PAD. Tidak juga bermaksud menampik keberhasilan dari apa yang sudah berhasil dilakukan para penggiat wisata himpun Associate. Tamu Rotterdam Cruise notabene adalah kriteria kalangan menengah atas. Angka 900 adalah jumlah cukup fantastik dari interval kekosongan rentan kunjung. While, berikut “temuan” dilapangan yang kira-nya bisa jadi pembanding. Entah apakah ini pernah jadi observasi pihak ASITA.
Saya adalah mahluk yang sering berkutat di lingkup pesisir. Baik sebagai guide wisata Diving ataupun keperluan instansi terkait kebutuhan survey zona marina. Fakta yang tidak bisa dipungkiri ternyata obyek wisata kita banyak yang diserobot pihak “lain”. Sekali waktu coba jenguk kawasan NTB yang ber-ombak garang. Disana cukup banyak didatangi operator wisata surfing dari Bali. Target wisman adalah para Back-packer dengan alternative biaya. Muncul dengan kapal kayu bermesin tempel namun selalu padat penumpang. Bisa 2 sampai 3 armada sekaligus. Inilah bentuk Cruise murah meriah dimana para peselancar cukup tidur bekalan bentang matras di pilar tumpuk geladak. Wilayah operasi-nya diawali ujung Bangko-bangko... lalu sisir lingkar selatan masuki teluk Ekas, bergelimang tabiat nakalnya ombak pantai Surga. Paket terjauh yang pernah terdeteksi adalah obyek pesisir aset Sumbawa Barat. Pelototin saja pantai Djelenga…Maluk..atau singgahi pantai di celah sempit himpit bukit cadas nan eksotis, pantai Yoyo alias Lawar. Selang senang lalu pulang hengkang balik Bali. Sementara Hu’u di penghujung paling timur kemungkinan belum tersantroni, akibat makan waktu jarak tempuh laut. Bersyukurlah Bima….,
Fenomena kunjungan tamu berkurang…, bukanlah murni kesalahan kita bersama. Kecuali ada yang menutup mata dengan “kondisi” ini. Pro dan kontra adalah hal biasa, berpulang pada kebijakan demi maslahat kita bersama. Angka 5,7juta pengunjung Bali… tentunya ada sebagian prosentasi milik NTB.
Pemaknaan indikasi isu lokal
Lalu kemana arah tujuan ambisi dan obsesi membangun citra NTB sebagai stok destinasi wisata? Sementara tingkat pemahaman kita masih saja terbentur seolah modal duit adalah segala-nya. Perlakuan dan cara pandang jadi menyimpang jauh saat berbicara asset obyek wisata milik daerah sendiri. Gak PD menjual orisinalitas dari makna eksotis, unik.. berbeda dari lain-nya. Benang Stokel yang alami, niat dipoles parasnya. Sementara ada pihak yang merasa paham ikuti kemauan pasar, kadang beda visi dengan pihak berkepentingan. Pangsa tamu hobi petualangan… soft-trek di persawahan gak selama-nya butuh mulusnya aspal. Tahun 1998 saya dan teman RDC (Rinjani Diving Club) pernah kunjungi Benang Stokel. Sangat alami... riskan pesona bahaya disisi tebing, namun memacu adrenalin! Aksi kami Rappeling ke dasar jurang. Salurkan hobi sekaligus survey lokasi. Saat itu jangan harap ketemu pedagang makanan kecil disekitar ujung jalan masuk. Kami terjebak lumpur…dorong mobil. Bersimbah keringat…basah kuyup. Gatal-gatal akibat gigitan serangga hutan. Nilai kepuasan tidak terbeli….,
Ada ungkapan dari staf dinas pariwisata Lotim, berseloroh lancar saat ditanya orang pusat. “katanya Pantai Surga Lombok terkenal ya!”. Dijawabnya lantang “Iya pak! Pantai-nya berjuluk Surga tapi jalannya Neraka!” hahahaha…. Bahana semua peserta rapat. Saya clingukan sendiri.. gak punya jeda peluang bantah.
Sekali lagi butuh pemahaman. Ribut-ribut masalah infrastruktur tentang aksis pintu Surga. Namun gak pernah tergerak hati saat asset wisata di ekploitasi pihak luar. Terjebak paradigma daratan…lupa lautan. Senantiasa terjerumus prilaku berkonotasi obyek wisata tak ubahnya obyek penderita, lahan yang kerap di Kambing-Hitamkan.
Terakhir, ada inisial hotel dan resto yang kini bermukim di dusun Lendang Terak-teluk Ekas masuk wilayah Lombok Timur. Heaven on the Planet…, filosofi pe-nama-an ini tercipta dari obralan ringan. “Ngapa-in jauh-jauh ke Surga kalo di bumi sudah tersedia”.. sekedar senda gurau bahasa promosi tanpa tendensi apapun tentu-nya. Fakta-nya memang ternyata sulit dijangkau. Dari ujung aspal terakhir masih harus tempus setapak muat lebar 1 mobil. Musim penghujan Cuma bisa di terobos pakai 4X4 saja! Neraka itu bukan masalah bagi tamu mereka yang mayoritas surfer. Room full booked…masih rela bayar matras. Cuma beratap tudung atap berugak.. atau cuek baring di manapun temu tetaring. Dasar bule, mahluk tabiat gila ombak….
Kembali pada canang ajakan ber-wisata dengan muatan relijius…, mari ber-Safari bukan sebatas seragam, namun hayati hakikat makna safar. Mencapai Ridwan memang butuh pengorbanan… dan di bumi-lah letak kita menjalani ujian. Pemanasan untuk bekal tahap kedepan, belum seberapa-nya realitas Neraka-Nya.
Artikel ini semoga bisa memenuhi harapan ASITA yang berniat eksis sebagai mitra kerja Pemda. Saya konsisten sebagai pendukung di barisan paling ujung…gak diperhitungkan. Hahahaha….,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar