Ayo simak dunia AVES.....,
Anggap kini giliran terapan bird wacthing program. Cukup luasan observasi di wilayah sekitar pemukiman tempat kami tinggal. Beberapa hari lewat, saya mendapati 1 ekor burung hantu dengan kondisi mengenaskan di rumah kerabat. Terpuruk di sudut pojok tembok dengan sayap kiri terseok. Ternyata kena sambaran gotri, mimis senapan angin.
Tepat seberang tembok rumah kerabat berdiri sepetak gedung kecil. Persisnya halaman rumah pemilik ber-etnis tionghio, terdapat graha khusus budidaya sriti.
Tepat seberang tembok rumah kerabat berdiri sepetak gedung kecil. Persisnya halaman rumah pemilik ber-etnis tionghio, terdapat graha khusus budidaya sriti.
Rupanya status burung hantu ini di anggap sebagai 'hama.' Terlebih dia memang kerap ikutan ndekam di rumah sriti tadi. Dengan postur tegak sekitar 30an cm. Burung ini terlihat eksotis dengan paras wajah membentuk pola buah apel. Bahkan mendekati rupa hati. Bikin hati iba melihat kondisinya. Mata picing sipit seolah nestapa. Padahal ini karena silau pengaruh over cahaya. Harap maklum status sebagai Aves Nocturnal. Tapi saat saya dekati, mendadak mata-nya melotot. Bulat belok penanda sikap waspada. Buktikan diri sebagai burung khas pemangsa (predator). Cakar tajam..dan paruh tipe pencabik. Kini tampilan berubah gak berdaya.
in-depth singkat....,
Dikatakan, burung ini klo di jawa sering terlihat menempati loteng, gudang dan gedung terbengkalai. Jadi mungkin wajar klo mnurut buku panduan lapangan (Burung-burung di Kawasan Wallacea) keluaran BirdLife International-Indonesia Programme disebut juluk in-english sebagai 'Barn Owl'. tentang Status dan Habitat dipaparkan, Tidak umum. Menghuni lahan budidaya, kawasan yang pepohonannya jarang dan sisa-sisa hutan dengan padang rumput diantaranya. Kadang di sekitar pemukiman penduduk. Dari permukaan laut sampai ketinggian 400m (lombok), 1200m (Flores), 1400m (Alor) dan sekitar 1000m (Sumba).
Pendekatan kalimat tadi setidaknya jadi penguat hipotesa habitat. Kadang disekitar pemukiman penduduk. Barn-Owl ini seperti memiliki hasrat berbaur dengan populasi manusia. Kemauan adaptasi secara alamiah. Si hantu terbang ini bahkan menempati bilangan sudut kota. Maklum selain sebagai bekas kota pelabuhan. Ampenan, sebagai bagian wilayah administratif kota Mataram, tempat saya bermukim masih banyak gedung tua eks peninggalan cokol pemerintahan Belanda. Dilema konotasi dianggap sebagai perambah kota... atau burung migran.
Menurut cerita rekan yang punya hobi amati burung di Jogya. Si 'BurHan' ini sering dilepaskan oleh sultan jogya saat persawahan petani mengalami serangan hama tikus. Artinya dilepas demi kepentingan pembasmian secara alami. Tentu langkah konservasi yang patut dijadikan teladan. Sekaligus membuktikan sinergi menguntungkan, simbiosis mutualisme.
in-depth singkat....,
Dikatakan, burung ini klo di jawa sering terlihat menempati loteng, gudang dan gedung terbengkalai. Jadi mungkin wajar klo mnurut buku panduan lapangan (Burung-burung di Kawasan Wallacea) keluaran BirdLife International-Indonesia Programme disebut juluk in-english sebagai 'Barn Owl'. tentang Status dan Habitat dipaparkan, Tidak umum. Menghuni lahan budidaya, kawasan yang pepohonannya jarang dan sisa-sisa hutan dengan padang rumput diantaranya. Kadang di sekitar pemukiman penduduk. Dari permukaan laut sampai ketinggian 400m (lombok), 1200m (Flores), 1400m (Alor) dan sekitar 1000m (Sumba).
Pendekatan kalimat tadi setidaknya jadi penguat hipotesa habitat. Kadang disekitar pemukiman penduduk. Barn-Owl ini seperti memiliki hasrat berbaur dengan populasi manusia. Kemauan adaptasi secara alamiah. Si hantu terbang ini bahkan menempati bilangan sudut kota. Maklum selain sebagai bekas kota pelabuhan. Ampenan, sebagai bagian wilayah administratif kota Mataram, tempat saya bermukim masih banyak gedung tua eks peninggalan cokol pemerintahan Belanda. Dilema konotasi dianggap sebagai perambah kota... atau burung migran.
Menurut cerita rekan yang punya hobi amati burung di Jogya. Si 'BurHan' ini sering dilepaskan oleh sultan jogya saat persawahan petani mengalami serangan hama tikus. Artinya dilepas demi kepentingan pembasmian secara alami. Tentu langkah konservasi yang patut dijadikan teladan. Sekaligus membuktikan sinergi menguntungkan, simbiosis mutualisme.
Nama latin di sebut Tyto alba. Bisa juga disebut sebagai Serak Jawa. Serak karena memang memiliki suara desis parau. Satu dua pekikan bernada tinggi memanjang selama 0,5-1,0 detik. Kerap bersuara sambil terbang membelah sunyi malam. Mengitari kawasan yang di anggap sebagai zona teritorial mereka. Berpredikat R (Resident) alias menetap dan ditemukan acap berbiak sepanjang tahun. Bukan kategori Endemik. Sebaran-nya cukup meluas.
Lain Jogya lain pula Lombok. Bahasa lokal sasak menyebut si burhan ini dengan nama "Keas". Nama yang saya pikir lebih mendekati konotasi tiruan bunyi parau tadi. Ada mitos yang masih dipercaya oleh kalangan komunal lokal. Berbobot tahyul bisa jadi bagi yang lain. Keas dipercaya sebagai natural-warning, perihal akan hadirnya mahluk halus bernama selak. Orang hindu bali mengenal sebagai Leak. Mahluk jadi-jadian yang suka mendatangi pemukiman warga, terutama keluarga yang memiliki jabang bayi baru lahir. Dan belum genap berumur 40 hari. Beberapa rangkai kisah dari mulut ke mulut yang saya tangkap dengar. Selak akan punya insting kuat tentang keberadaan orok baru lahir. Dikisahkan wujudnya bisa hadir sebagai manusia maupun jelma hewan tertentu. Umumnya anjing. Mendekati rumah tinggal si orok, yang disukai adalah tempat genangan bekas cucian air ketuban dan campuran ceceran darah. Jika hadir wujud rupa manusia, ciri yang paling tampak adalah belepotan air liur mengalir secara abnormal dari mulut si selak. Seolah menunjukkan dahaga yang amat memprihatinkan. Para orang tua harus waspada menjaga jabang bayi-nya. Kalau lengah, saat ditinggal sendirian, secara magis si selak mendekat dan menghisap darah si orok hingga tewas. Pucat pasi kehabisan stok darah. Bak sirup menggiurkan bagi sang selak, Drakula tanah Sasak. Siluman penghisap darah.
Menyeramkan? mungkin tidak. Konon jelang saat-saat itu akan hadir keas, si burhan yang bermanfaat sebagai pembawa berita. Mendesah parau bagai sirine alarm. Hikmahnya, bikin para ortu jadi waspada. Dan si mahluk siluman enggan mendekat.
Nah! secara spesifik si Keas ini sebetulnya bermanfaat sebagai sahabat manusia. Klo merunut kisah tadi. Apalagi melirik potensi sebagai predator pengendali hama tikus. Rasanya akan sayang klo burung ini dibantai. Kecuali akan beda pendapat bagi para pengusaha sarang walet maupun sriti. Gak ada alasan, keas akan tetap dipadang sebagai musuh nyata. Jadi solusi-nya, adalah mengalihkan habitat para keas ini. Tempat yang aman bagi mereka berkembang biak. Meneruskan regenerasi koleksi aves tanah air.
Kedepan, tentu saja harus di perhatikan keberlangsungan spesies ini. karena bisa jadi klo sering diburu burung ini bakal berubah status langka. Apalagi sampai masuk kategori Endangered spesies di list Appendix CITES. Sekalipun ini masih sekedar alibi pribadi hiperbolis. Saya hanya berpatokan pada tema upaya konservasi sejumlah Aves. Tentang pemanfaatan sumber daya, judul re-stock biota, ataupun langkah pengendalian populasi biota terbang. Relevansi pada asumsi sementara, merujuk lingkaran kasus. Ada 4 kriteria jenis biota yang harus di lindungi :
1. Langka
2. Terancam punah
3. Daerah penyebaran terbatas
4. Kemampuan reproduksi rendah.
ByTheWay, cuplik kisah munculnya drakula lokal tadi bikin saya paham. Kenapa si Serak Jawa alias keas, bergelar burung hantu. Sejak masa kecil di Malang dulu saya sedikitpun belum pernah tau latar belakang embel-2 inisial. Justru ketika saya ndekam di Lombok, pencerahan itu hadir. Si burung Hantu ini ternyata 'sobat' menarik. Ironis-nya malah di bantai... padahal sebagai hewan dia malah "pemerhati" keberlangsungan hidup nyawa manusia. Sekalipun berdasarkan mitos daerah semata.
Alasan lugas. Demi sirkulasi nilai bisnis, kian bentuk citra negatif sebagai hama pengganggu stabilitas lahan usaha bidang 'liur' yang bikin giur. Demi sriti bin walet. Babat habis 'calon' endemik sang perambah pelosok kota. Burung-burung urban.... aves-aves migran.
Lain Jogya lain pula Lombok. Bahasa lokal sasak menyebut si burhan ini dengan nama "Keas". Nama yang saya pikir lebih mendekati konotasi tiruan bunyi parau tadi. Ada mitos yang masih dipercaya oleh kalangan komunal lokal. Berbobot tahyul bisa jadi bagi yang lain. Keas dipercaya sebagai natural-warning, perihal akan hadirnya mahluk halus bernama selak. Orang hindu bali mengenal sebagai Leak. Mahluk jadi-jadian yang suka mendatangi pemukiman warga, terutama keluarga yang memiliki jabang bayi baru lahir. Dan belum genap berumur 40 hari. Beberapa rangkai kisah dari mulut ke mulut yang saya tangkap dengar. Selak akan punya insting kuat tentang keberadaan orok baru lahir. Dikisahkan wujudnya bisa hadir sebagai manusia maupun jelma hewan tertentu. Umumnya anjing. Mendekati rumah tinggal si orok, yang disukai adalah tempat genangan bekas cucian air ketuban dan campuran ceceran darah. Jika hadir wujud rupa manusia, ciri yang paling tampak adalah belepotan air liur mengalir secara abnormal dari mulut si selak. Seolah menunjukkan dahaga yang amat memprihatinkan. Para orang tua harus waspada menjaga jabang bayi-nya. Kalau lengah, saat ditinggal sendirian, secara magis si selak mendekat dan menghisap darah si orok hingga tewas. Pucat pasi kehabisan stok darah. Bak sirup menggiurkan bagi sang selak, Drakula tanah Sasak. Siluman penghisap darah.
Menyeramkan? mungkin tidak. Konon jelang saat-saat itu akan hadir keas, si burhan yang bermanfaat sebagai pembawa berita. Mendesah parau bagai sirine alarm. Hikmahnya, bikin para ortu jadi waspada. Dan si mahluk siluman enggan mendekat.
Nah! secara spesifik si Keas ini sebetulnya bermanfaat sebagai sahabat manusia. Klo merunut kisah tadi. Apalagi melirik potensi sebagai predator pengendali hama tikus. Rasanya akan sayang klo burung ini dibantai. Kecuali akan beda pendapat bagi para pengusaha sarang walet maupun sriti. Gak ada alasan, keas akan tetap dipadang sebagai musuh nyata. Jadi solusi-nya, adalah mengalihkan habitat para keas ini. Tempat yang aman bagi mereka berkembang biak. Meneruskan regenerasi koleksi aves tanah air.
Kedepan, tentu saja harus di perhatikan keberlangsungan spesies ini. karena bisa jadi klo sering diburu burung ini bakal berubah status langka. Apalagi sampai masuk kategori Endangered spesies di list Appendix CITES. Sekalipun ini masih sekedar alibi pribadi hiperbolis. Saya hanya berpatokan pada tema upaya konservasi sejumlah Aves. Tentang pemanfaatan sumber daya, judul re-stock biota, ataupun langkah pengendalian populasi biota terbang. Relevansi pada asumsi sementara, merujuk lingkaran kasus. Ada 4 kriteria jenis biota yang harus di lindungi :
1. Langka
2. Terancam punah
3. Daerah penyebaran terbatas
4. Kemampuan reproduksi rendah.
ByTheWay, cuplik kisah munculnya drakula lokal tadi bikin saya paham. Kenapa si Serak Jawa alias keas, bergelar burung hantu. Sejak masa kecil di Malang dulu saya sedikitpun belum pernah tau latar belakang embel-2 inisial. Justru ketika saya ndekam di Lombok, pencerahan itu hadir. Si burung Hantu ini ternyata 'sobat' menarik. Ironis-nya malah di bantai... padahal sebagai hewan dia malah "pemerhati" keberlangsungan hidup nyawa manusia. Sekalipun berdasarkan mitos daerah semata.
Alasan lugas. Demi sirkulasi nilai bisnis, kian bentuk citra negatif sebagai hama pengganggu stabilitas lahan usaha bidang 'liur' yang bikin giur. Demi sriti bin walet. Babat habis 'calon' endemik sang perambah pelosok kota. Burung-burung urban.... aves-aves migran.