Minggu, 18 September 2016

Melacak jejak BINTARO

TPU Bintaro - Ampenan.
Yah..., sejak kegiatan biking lewat makam Bintaro-Ampenan. Sejak itu juga kami digayut rasa penasaran. Vegetasi yang identik tanaman pesisir khas ini justru 'raib' di spot lokasi yang jelas" sandang julukan nama-nya. Bernama latin Carberra manghas... pohon buah ini memang agak mirip mangga. Helai dan rumpun daun-nya juga sama. Cuma penampakan buahnya beda. berkulit mulus kinclong.. eye catching memerah jelang matang. Tapi gitu kering bentuknya buahnya berserat menyeramkan.  

Khususon Mataram, eksistensi-nya justru banyak ditemui di beberapa lingkup jalur hijau. Green belt pematang aspal.. dan sebagian bidang tanah pemukiman dan Ruko. Rupanya para pengembang lebih melihat kemampuan tumbuhnya yang cepat. Lalu dipilih sebagai vegetasi peneduh handal. Saya belum runut ketahui dimana pusat pembibitan-nya. Namun, besar kemungkinan 'penetrasi' utama melalui stokist penjual bibit tanaman.  
Sebagai vegetasi khas pesisiran. Dia menjadi kelompok minor yg bisa beradaptasi hingga jauh ke darat. Selain itu, bintaro juga memiliki "citra miring". Kandungan zat senyawa cerberin... sangat berpotensi arsenik. Sifat racun kuat.. sangat toksik. Terutama pada bagian daun dan buah-nya. Bahkan runut referensi secara sejarah peradapan dipakai untuk media bunuh diri. Hingga olesan racun pada senjata sumpit untuk melumpuhkan hewan buruan. Dikatakan kuat kadar racun karena bisa mempengaruhi ritme detak jantung. Semacam pola tehnik serangan jantung buatan. Heart Attack artificial... not disease!!! Swear... ragara estapet sidang Jessica Wongso yang sustainable. Sempat kepikir, ah! jangan-jangan Mirna tewas lantaran getah Bintaro. Hihihi....analisa ngawur! 

Bintaro tentu punya manfaat lain. Misal pengendali hama.. sebagai Bio-pestisida. Bahkan menghalau tikus rumah untuk hengkang. Aromatik cerberin itu musababnya. Tapi tentu saja klo gak bijak membekali pengetahuan pendamping bisa bahaya. Terutama anak kecil. Apalagi ditengarai tanaman ini sudah cukup marak ditanam di wilayah kota. Mudah dijangkau anak-anak. Secara naif, bisa jadi babat habis di pekuburan Bintaro Ampenan sebab terkait status sebagai zona pemanfaat lahan makam. Dan dianggap vegetasi merugikan. Bintaro di berangus, tebang ludes. Tapi, lahan-nya dikhususkan untuk "menanam jasad orang mati" (jenazah). Giliran berpeluang sebagai tanaman peneduh malah marak di tumbuhkan oleh para developer. Padahal memiliki kans efek mematikan. Perlakuannya gak seperti pohon penghias jalan lain. katakan semacam Mahoni-Angsana-Flamboyan-Saga. Yang oleh Dinas Pertamanan Kota Mataram dibuatkan khusus berupa plat nama, semacam name tag. Tanpa informasi memadai.
Be CAUTION please!!!!







Fish 'bourne' Identity....,


Seperti biasa.. lanjutan sesi tatap muka biota. Biar kenal... kali ini empak Jenggotan. Kambingan. Lucunya pedagang KebonRowek suka bilang sebutan lokal-nya Nyanggi. Padahal secara kemiripan ujar agak nyasar Swanggi. Alias mengarah pada sekelompok ikan SquirrelFish/Big eye. Atau faktor sebab karena kemiripan warna. 
#Sensus pisces di keresek belanjaan dapur









Cod...  Grouper, a.k.a Kerapu... di kesempatan identifikasi yang lain




Bisnis Sirip Hiu.. komunal Bajo & sejarah Maritim.

Menyoal Tanjung Luar yang kadang terlalu acap diliput sebagai berbagai media tanah air. Bisa di maklumi ujung-nya kawasan ini seolah di munculkan sebagai "spot" ekploitasi paling terwakili jadi profil suram jagat maritim Indonesia. Padahal persoalan-nya gak sesederhana itu. Bisnis ini sudah mengakar kuat sejak lintas peradaban. Terjalin erat..antara korporasi kuliner eksotis..sindikat dagang..pialang..dan nelayan. 

Bahkan, sejak lawatan Alfred Russel Wallace ke gumi Nusantara. hingga melahirkan karya "The Malay Archipelago" (1869). Bab catatan kunjungan ke Lombok dan Sulawesi juga termaktub. Hingga kelak lahir istilah garis wallace (klasifikasi pembagian teritori fauna). Saat itu dia juga mencatat tentang aktivitas perburuan hiu yang dilakukan oleh komunitas Bajo. Hingga merayap teritorial laut barat Australia. Bayangkan sendiri.. betapa lestari-nya kegiatan ini pada lintas peradapan yang bergulir.
Nah, yang lebih menarik lagi. Pernah ni sekali waktu seorang peneliti Hobbit (manusia kerdil purba-Liang Bua) sekaligus konsultan Sanitasi asal aussie. Dimana kami pernah berinteraksi pada kegiatan sama. Dalam dialog intens dia memaparkan tentang alur sejarah panjang tentang masyarakat Bajo yang sudah kerap 'mampir' disana. Besar kemungkinan telah bercengkrama lebih akrab dengan penghuni asli Aborigin. Meski dikurun warsa-warsa itu Australia memang sdh diakui sebagai lahan resmi Britania Raya. Sejak berstatus tempat pembuangan para kriminal. hingga mengalami laju hijrah arus migran asal Eropa. Sejak tambang emas menjadi faktor magnet utama-nya. (wiki/Australia).


Mau tau apa peninggalan komunal nelayan Bajo disana? gak lain..gak bukan, adalah tegakan dan sebaran pohon Asem** (kurma India). Si Tamarindus indica itu. Para "Gipsy Laut" mereka ini yang nanem. Karena asem sudah merupakan bahan menu masak yang wajib dibawa di perhelatan lintas samudra. Artinya vegetasi ini ditengarai bukan tanaman asli. Mereka tumbuh atas campur tangan manusia pembawa-nya. Berbeda dengan tanaman khas ekosistem Mangrove yang memiliki tipikal sama di belahan dunia manapun. Karena mangrove adalah tanaman khas pesisir. dianugrahi kemampuan trans-lokasi ala mandiri. Katakan semacam buah jenis Rhizophora dengan putik buah panjang itu. Pada etape masak.. nyemplung air..lalu bergerak mengikuti tabiat arus laut. Kemana-pun pergi. Sesuai titah fitrah dan emban misi sang pencipta-Nya. "Tuh... berkutatlah disana...hijau-kan green belt pesisih-pesisih inyo!"
Kembali pada masyarakat Tanjung Luar. yang berdasarkan pengakuan mereka-pun rana kunjung juga hampir ke perbatasaan Australia. Toh, beberapa warga LabuhanBajo (NTT) mengakui mereka kerap kunjung lokasi sama. Yang berarti secara turun-temurun spot disana secara 'de facto' dikenal sebagai "spot wilayah tangkap". Hihihi....di poin ini saya mendadak cengar-cengir. Padu-padankan dengan kasus perairan Natuna di Laut China Selatan yang marak konflik RI-RRC itu. RRC ngeyel mengklaim klo itu adalah "Tradisional Fishing Ground". yang sudah mereka keruk dari jaman" bahula. Meskipun itu sudah jadi wilayah kedaulatan RI. Bayangkan saja..., klo modal alasan "tradisional fishing ground" apa susahnya juga kita ngeklaim wilayah perairan Australia utara berdasarkan fakta sejarah suku Bajo tadi. :) Dengan mengabaikan kedaulatan Aussie..toh warga asli-nya adalah trah dinasti Aborigin. Yah. Tanjung Luar itu baru sepotong zona yang dikenal. Kebetulan ber-akses prasarana mudah dicapai. Transportasi gampang. Liputan reportase langsung jadi..ujug" blar! semacam trending topik yang paling riskan untuk di ulas. Jika sewaktu-waktu diperlukan..layak sebagai pengalihan isu dari tema ekploitasi sumber daya perairan. Tanjung Luar itu cuma alibi andalan :) Bisa kalian bayangkan.. Indonesia seluas ini. Penduduk/pemukim dengan status pulau-pulau terluar dan tersentuh modernisasi. Tapi warga-nya telah hidup dari kesinambungan hasil laut. Apakah tidak ter-ekploitasi? Katakan saja kita berfokus di wilayah timur..sebelah kanan garis Wallacea yang lebih marak gugus nusa kecil dan imut-imut. Tidak adakah bisnis sirip?.. ah! naif juga klo kita menutup mata perihal fakta para Gypsy-Laut. Tidak adakah pengusaha sektor kelautan yang melihat dan menangkap peluang maha kaya dari peta potensi sumber daya di kutub Indonesia timur. Oh iya.. ibu mentri kita itu. pemilik Susy Air. Begitu hebat... tidak saja menguasai lintas udara sejarah harfiah. Air in-english itu udara..air ya air. Perairan. Tapi saya yakin beliau gak mungkin jadi penampung ilegal fishing macem empak-empak kliyu tiye! Beliau pembasmi kapal-kapal iilegal fishing asal china yang handal. diNatuna-dinatuni..., 
Don't be negatif thingking... Rumangsa-mu... Prasamu...syak-syak wasongko... wingko taburan roso iwak pindang!


Note : soal pohon asem. yang kerap ditanam oleh para pelaut Bugis maupun para nelayan suku Bajo sebagai gypsi laut. cuplikan dari kanal wikipedia. Pelaut-pelaut Bugis pada masa lalu diketahui menanam pohon asam jawa di pantai utara Australia, di Northern Territory di saat mereka beristirahat menunggu datangnya angin untuk kembali ke daerah asal. Pohon-pohon asam jawa ini menjadi petunjuk kontak orang Aborigin setempat terhadap orang luar sebelum kedatangan orang Eropa. Catet ya...sebelum orang Eropa datang!!