|
kunjung 12 April 2012, dilokasi Vendor Resmi-Griya Parampuan. |
Harap maklum yah! artikel ini hampir setahun lebih mangkrak. Cuma tampil 1 gambar (inset samping) terpasang. Indikasi pemanis alibi. Bahwa saya pernah kunjung langsung. Heran-nya, kog gak segera tergerak nulis apapun. Labil juga sih! Saat itu saya lagi cari celah titik cerah apa yang bisa saya kait dan runutkan dari wacana terkait. Semacam energi benang merah-nya. Batik Sasambo... kenapa bisa hadir. Latar belakang apa. Esensi ulasan apa. Siapa kreatornya. Bla...bla..bla..., Terasa kusut jika urai pake metode konvensional 5W+1H. Toh, Saya bukanlah reporter harian resmi. Sebatas doyan nulis. Review ala kadar, berangkat dari pondasi geluti Citizen Journalist. Acap di sebut Pewarta Warga. Masih bingung dengan istilah itu, Yowis! label paling pas ya Wartawan Indie.
Fakta-nya kini terjerembab lonjak almanak. Pelototi monitor notebook sama, masih digayut PR artikel gak kunjung tuntas. Persis jelang akhir Ramadhan (tertanggal 3 Agustus 2013). Oke, ulasan ngawur dimulai......,
Istilah SaSaMbo adalah singkatan dari gabungan ketiga etnis yang ada di NTB. Sasak-Samawa-Mbojo. Secara pesan filosofis mudah ditengarai sebagai abrreviation / akronim yang sekaligus bingkai simbolisasi dari upaya bijak dan terarah penyatuan ke-3 unsur kultur dan suku yang mendiami tanah Nusa Tenggara Barat. Terdiri dari 2 pulau besar. Lombok dan Sumbawa. Tujuannya tentu bermuara harfiah pada terciptanya keselarasan, balansi dalam peri kehidupan. Kerangka pikir patri pada konsep semangat sub-Bhinneka Tunggal Ika.
Agak ketinggalan berita. Maklum sedikit udik. Tentang Batik Sasambo, justru saya dapat info ketika jalani peran pandu rekan Jakarta. Para surveyor lingkungan pesisir dari Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). Sepulang kunjung wilayah Sekotong. Masuki alur Mataram kami langsung hinggap di Griya-Parampuan. Dengan celutuk saya jujur ngaku... selama ini saya cuma pernah tau Senam Sasambo. Juga ada lagu badendang-nya yang kebetulan pernah liat di stasiun lokal, LombokTV. Dibawakan 3 pria paruh baya, lengkap balut kostum adat per-masing suku. Mirip aksi Trio-libels. Cuma in-shoot kadang ada ayun gerak gak kompak. Kaku.. rada sipu-malu, belum bener" menjiwai bimbingan penjiwaan teaterikal.
Paket budaya kreasi baru, saya hanya berpikir begitu. Tapi klo batik Sasambo. Swear! baru kali ini ngeh-nya!
Sejurus kemudian kami tiba di lokasi rumah produksi. Rumah merangkap gerai showroom dan pabrik olahan. Menyengat tajam bahan pewarna. Aura kontras dengan beberapa deret rumah lain. Aktivitas terlihat sibuk. Banyak individu terliat tekun pada fokus bidang kerja. Saya gak tinggal diam, tergerak aktif meliput suasana. Beberapa gelondong kain mori bahan katun standar batik tergeletak di sudut ruang.
|
ruang cuci - setelah proses pewarnaan |
Tampaknya paket kiriman yang baru tiba. Bahkan didepan garasi merangkap ruang produksi terlihat perempuan muda sedang menatah warna outline via media canting. Ikuti format pola pensil. Dibilik ruang lain, tampak seorang ibu sedang menggambar beberapa pola. Desainer handal. Disimak seksama oleh beberapa gelintir remaja. Kilas dialog ternyata mereka adalah siswa dari pemilik usaha ini, bapak Lalu Darmawan. Profesi utama adalah guru SMAN5 membidangi mata pelajaran kesenian. Khusus keterampilan mBatik. Inspirasi keragaman budaya yang kemudian menggerakkan beliau untuk menciptakan batik Sasambo. Sebagai perintis utama yang kemudian mampu mengembangkan usaha batik mandiri khas daerah. Cukup membanggakan, sebab menjadi ikon resmi busana instansi. Wajib sandang hari kamis. Sehingga terlihat betapa pemerintah daerah cukup respect dan mendukung sektor usaha terkait. Sisi lain, adalah terbukanya kans estapet muncul cikal usahawan baru. Memberi kesempatan magang bagi para siswa binaan. Sinergi dan mutualisme yang semoga jadi rangkaian bermanfaat. Kemudian hari nanti
Di kanal lain cukup membingungkan. Tertulis bahwa pertama kali usaha ini di rintis oleh para santri Pondok Pesantren(PP) - Tarbiyahtul Ikhlas atas prakarsa seorang ustad. baca link. Lain info dari wawancara yang saya dapatkan. Menurut ibu Darmawan justru perkembangan awal batik Sasambo, sang suami yang merangkul otorita di PP itu. Upaya pemberdayaan para santri. Tidak saja mengukuhkan pondasi dasar kecerdasan spiritual. Tapi membekali kecerdasan finansial. Melek jiwa wiraswasta dan punya tabungan pengalaman sektor ekonomi. Mungkin gitu kajian konsep dan terapan-nya. T..O..P... banget!
Jadi semoga tidak ada pihak yang berusaha ngaku-ngaku perintis lain. Lantaran manfaatkan momentum keciprat tenar. Hare gene.. mental badak kog dipelihara!
|
pengerjaan batik padat motif (Foto asal Googling) |
Budidaya bidang Textile
Susah gampang memaknai Batik. Tapi ada cukup bahan kajian jika merunut Wikipedia. Intinya cukup di maknai sebagai karya tekstil yang berkembang sejalan peradapan manusia. Dikerjakan dengan tehnis tertentu. Juntrungnya, Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
Secara mainstraim, sejak dulu kata 'batik' yang lekat di otak saya cuma ada kata Jawa. Juga sentuh teritorial Madura. Mengutip beberapa lampir ungkap pendapat yang menarik disimak.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui
praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu
sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian
sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa
di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di
balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul,
1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti
simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain
panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena
itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya
magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang
mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius
dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah
tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari
upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan
Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi
saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan
pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup
pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut
berkaitan dengan suatu harapan” (Kuswadji, K, 1985:10-11).
Kesimpulan yang dapat diambil. Batik budaya jawa punya kajian filosofi (makna filosofi batik), corak dan pakem khas. Berkaitan erat sandang adat. Meski kemudian mengalami pergeseran nilai akibat generalisasi humanisme. Setara gender dan hapus jejak teori kelas pada strata masyarakat pengguna. Anggap saja lumrah manusiawi. Kesampingkan hikmah pemurnian-nya. Kembali pada kemampuan daya beli seseorang. Minat akan motif dan ketertarikan heritage budaya sendiri. Minim dimaknai sebagai khazanah langkah cagar budaya.
Justru layak sorot adalah perkembangan batik paska pengakuan resmi Unesco, tahun 2009. Sejak itu serta-merta muncul berbagai karya batik dari berbagai wilayah Indonesia. Entah ini dampak rebak ke-latah-an ter-organisir. Atau ada sebab lain? Bagaimana bisa wilayah Indonesia timur yang tadi-nya identik dengan penghasil kain tenun ikat ataupun songket. Mendadak heboh mengenalkan karya Batik unggulan khas daerah masing-masing. Bahkan ada batik Papua ???. Jika-pun ada tipe selembar "kain", mestinya berupa hasta karya simpel. Biasa berupa rajut-anyam dengan bahan alami, rumput or samak kulit pohon. Motif prime-itive dengan corak sederhana. Warna terbatas. Khas nuansa pedalaman atau corak nuansa paganisme. Yah, semisal amsal bahan selongsong koteka. Bagaimana jika ada tayang tivi. Menampilkan segmen pernikahan adat ala papua. Saat penyerahan mas kawin dari pihak laki. Tidak pernah nongol kain khas papua. Apalagi batik papua :( Justru kain idola yang dianggap berharga di acara pinangan kog malah sarung Sulawesi? :) Kontradiktif... gak mendidik otoritas logika!
Gelagat lain. selain skeptis juga ketangkep kesan upaya protektif ganjil. Berkiblat kasus budaya disabot jadi milik negara lain. Reog..pendet..angklung. Bahkan batik toh juga ditumbuh-kembangkan oleh insan jiran malaysia. Trus apa saya kudu reaksi heboh. Ngapain.. toh motif jiplak tanpa tendensi filosofi apapun. Pengembangan lain yang ada justru motif dan corak kreasi baru. Kalo-pun ada penyertaan ikon Nusantara, cuma pemanis tampil saja. Asal comot,mix-match... kayak kreasi mozaik. Karya sadur bin jiplak selama-nya gak akan pernah bisa geser orisinalitas muasal hakekat masterpiece, Batik Indonesia.
|
batik Barca... batik Gaul... batik supporter fanatik :) |
Cermati saja. Seperti juga tindakan pabrikan batik di tanah air, demi olah industri. Sasar pangsa penggila bola fanatik. Notabene generasi sekarang yang ogah lirik pakem batik orisinil. Lahir karya beda. Batik sisip logo tim soccer luar negeri. Gak lebih konotasi batik gaul. Jadi perlu garis bawahi sodara-saudagar..., ini hanya kecamuk industri.
Disinyalir gerakan terselubung pan of java. Wah gak blas tuh! Yang ada justru gejala industrialisasi bergulir. Tehnik membatik. Bukan esensi harfiah batik. Seolah digeneralisasi apapun yang dikerjakan dengan tehnik sama.. peralatan, bahan-material dan proses serupa. Langsung di cap Batik. Tanpa bisa beda-in mana karya batik adi-luhung, mana yang kreasi baru. Pihak keruk untung, klo gak produsen/pabrikan penyokong utama rangkaian bisnis terkait.
Konsentrasi pada wacana corak dan filosofi batik, seperti tidak lepas dari fenomena pencitraan keris khas Nusantara. Sarat pendalaman makna dan falsafah proses penciptaan. Tingkat kesulitan garap makin melambungkan eksistensi. Gaya bangun, dapur hingga jumlah lipatan maupun motif pamor. Mau pola reka maupun tiban. Hasilnya sangat layak di pamerkan. Idealisme maha karya.
|
Salah kaprah kian tumpang tindih. Foto diatas ini salah satu rujukan link yang kadang makin mengaburkan citra textil Lombok. Banyak di-copas web/blog jadi dokumen inset penyerta wacana terkait. Dikatakan sebagai batik SaSaMbo. Padahal gamblang itu semua adalah kain tenun ikat (songket) khas motif lombok. Kecuali warna coklat (kanan atas) identik khas Sumba (NTT). Bukan pula itu kain mori bahan batik yang kemudian di-tatto motif khas songket. Jadi seolah ada kesan pemindahan motif serupa pada media tekstil yang berbeda. Motif batik SaSaMbo sangat minimalis. Motif terinspirasi dari ikon tematik keseharian. |
|
ini motif Batik SaSaMbo. tapi masih mewakili citra khas Sasak Only
Kiri-kanan : (1) motif burung endemik Koak-Kaok (2) motif sayur lebui
(3)motif gendang beleq. (4) motif pucuk Kangkung. |
Batik tanpa pakem tradisi
Ada ungkapan, batik SaSaMbo belum bisa diakui oleh komunitas seniman sebagai murni karya batik. Tidak dijelaskan detil kenapa. Tapi sejauh prediksi, bisa jadi alasannya sama, runut penjelasan yang saya papar di bait sub-judul perihal kait sejarah dan filosofi.
Saat kunjung awal ke lokasi workshop bersama rekan tadi. Saya bahkan pangling. Cenderung bingung. Sangat in-konsisten dengan usungan filosofi simbolik penyatuan ke-3 warna budaya. Asumsi-nya ada temuan energi pembaharu. Menyatu desain corak & motif. Semacam esensi print-out karya 3 in 1. SaSaMbo, pada karya batik-nya, harapan saya adalah konsonan pengejawantahan uni-NTB. Sinyalemen karya fenomenal New-West Nusa Tenggara. NTB yang utuh... meski komplikasi. Karya yang mampu menyatukan tirai dan sekat pembeda, al-furqan fi teritori wal propinsi.
Sebagai kasus pembanding paling relevan bisa dilihat pada batik Jawa Tengahan. Yaitu batik dengan julukan 3 negeri. Batik ini menarik bukan secara pakem motif yang sejenis. Tapi justru bisa beragam. Batik 3 negeri awalnya mengacu pada kasualita status wilayah administratif (hak otonomi) di jaman kolonial Belanda dulu. Batik ini ke-unik-an justru pada opsi beda warna dari asal daerah yang berbeda. Merah identik asal Lasem. Biru berasal dari Pekalongan. Sementara Sogan/Coklat asalnya Solo. Dari satu lembar mori batik lalu mengalami proses pewarnaan dari asal warna 3 daerah yang berbeda. Tentu saja ini 'hanya' akan dialami oleh batik 3 negeri tipe jadul yang dikerjakan secara tehnis manual pada periodik kurun tempo dulu. Yang secara harga bisa dipastikan lebih mahal secara nilai historis-nya. Akan berbeda kasus jika dikaitkan dengan batik tiga negeri edisi kini. Bisa dipastikan perolehan warna sudah begitu mudah karena di dukung geliat industri yang mengiringi perkembangan peradapan.
Kenyataannya, batik SaSaMbo baru hadir sebagai brand. Sertifikasi cap dagang. Dikurun gulir 3 tahun perjalanan usaha-nya. Motif yang terpampang lebih pada perca ikonik, individualistik. Motif Sasak meliputi kangkung, Sebiye(daun pegagan), cacing nyale(cacing laut yang muncul pada even festival budaya Putri Nyale disepanjang pesisir selatan Lombok - biasa bulan Februari), koak-kaok(nama burung), berugak, masjid, pemain gendang belek, dlsb. Sedang motif khas Samawa ada kijang, asem (buah tamarin), barapan kebo(dikaitkan dengan tradisi budaya panen masyarakat petani) . Bahkan manjareal, kue khas sumbawa sampai di jadikan obyek ekploitasi imaginatif. Belum lagi motif khusus Mbojo (meliput Bima dan Dompu). Belum tuntas saya ketemu liat ikon khusus. Mungkin buah kinca(mungkin tipe endemik..sejauh ini belum penah ketemu di tempat lain). Goal/bidara, atau barangkali perlu usung sambel khas, Siradungga. Atau kelak ada motif kalimboade (ucapan paling khas dikomunal sana saat hendak berpamitan).
Menurut pitutur kemudian, workshop SaSaMbo juga buka peluang cetak Motive by Order. Sejurus perkembangan beda 3 budaya. Gilir ada kans dari terbentuknya kabupaten baru. Sejak ada maklumat pemprop agar pada hari kamis, dikenakan busana khusus dengan bahan batik SaSaMbo. Rupanya membuka keran ide. Kabupaten Lombok Utara baru terbentuk, konon sudah ada tim khusus pemerintah yang pesan batik SaSaMbo. Entah ikon apa lagi. Model perahu jukung? noktah 3 gili.. motif bebukit khas Rinjani. Atau model sate ikan tanjung?. Belum lagi jika KSB tergerak pesan. Nyok, berandai-andai tentang ikon motif yang bakalan terbit. Khusus tanah berslogan resmi pariri lema' bariri. Lebah or motif sarang tawon. Atau mengadopsi formasi kemutar talu, bahkan tugu Parang. Cocok nih, bisa nyentil filosofi pakem konvensional motif batik Parang-Rusak asal Jawa. Pelenceng dikit inisial unik...Parang-Balong...Parang-Merang!. Atau sekalian bikin motif spesial Sasak. Toh kata Bateq.. nurut lokal sasak bermakna juga parang. Rada mirip lafal Batik=Bateq. Lalu mendadak lahir motif Bateq-solah... bateq-tilah or Bateq-sede*.
|
ka-ki : (1) motif utk samawa ada motif Kijang. (2) motif sasak ilham
daun Sebiye, biasa jadi sayur khas. (3) motif cocoa.. bisa jadi ini
rujuk zona KLU dominasi khas vegetasi perbukitan |
|
Motif pisah-pilah, separasi ikonik-simbolis by order. Paling tidak masih mengukuhkan diri bahwa batik sasambo masih dominan alur rana industri. Gebu kebangkitann-nya sekaligus tandai sebagai produk tekstil kreasi baru. Bentuk wujud pencitraan kini. Proses gali jati diri kolektif di tikai kubu-kubu ambigu.
Gak masalah kog! Toh dalam perkembangan awal nama besar pabrikan batik lain (mukim jawa) juga begitu. Keluar dari pakem-pakem standarisasi njlimet. Lalu dengan berani mengumbar energi ekspresif. Muncul desain baru. Kontradiktif, nyeleneh tapi asik. Hantam krama baku :) Tengok saja batik Keris dan Semar. Sekalipun pada awalnya ada juga motif-motif afkir. Desain motif yang sekilas mirip dengan pola printing di gelaran kain pantai/sarung pantai. Marak diproduksi demi tunjang kepentingan wisata marina dan pesisir. Warna ngejreng.... eye catching.
ByTheWay, mencermati Kain/sarong pantai. Jika ditilik pada perkembangan batik Jawa akulturasi, rasa-nya agak sedikit memiliki persamaan pada rekam jejak falsafah sederhana-nya. Batik pesisiran yang berkembang atas pengaruh unsur negri jiran, Tiongkok. Dimana bengkel/workshop batik jawa tengah bagian pesisir utara telah pesat berkembang oleh para moyang dan trah peranakan. Pesan dan muansa motif-nya egalitarian. Bisa dikenakan oleh kalangan manapun. Karena secara tujuan lebih menyasar ke rana bisnis. Disamping awal-nya juga secara historis gak bisa dipungkiri demi mendukung sektor tekstil yang telah berkembang pesat di negara asal-nya. Sentra Sutra! berkenanan dengan tematik silk-road. Penyebaran-nya tidak lagi terkendala zona daratan sejak dibuka alur laut berkat ekspedisi Laksamana ChengHo.
Sekalipun dalam laju berikutnya, ada juga motif tertentu yang dikabarkan hanya dibuat secara terbatas. Peruntukan bagi kalangan 'taipan' di masa itu. Bisa dibilang karya seni batik pesisiran ini juga merupakan batik Kontemporer dimasa awal kedatangan-nya. Akan sangat kontraversi dengan batik nilai falsafah jawanisasi yang terpusat dikalangan keraton Jawa Tengah zona selatan. Dikenal dengan kategori batik klasik. Sarat nuansa magis, sakral sekaligus pamali dan kadar kasta pemakai-nya.
Mengutip komentar rekan, yang ternyata doyan buru dan koleksi kain. Khususnya output daerah dari setiap kesempatan kunjung kemana-pun dia hinggap. Memang batik sasambo belum bisa disejajarkan karya batik jawa yang lebih dulu eksis. Sarat kandungan motivasi pengaruh lintas jaman. Namun bagi saya layak di koleksi kog! Dari sisi eksklusifitas. Paparnya tegas. Esklusif... adalah ciri khas. Lain dari yang lain. Intinya semoga menjadi poin trigger bagi pengembang batik sasambo berikutnya. Usahawan binaan...,
Bincang gamblang, kan masih dapat dukungan pemerintah daerah tuh. Jika ini bakal jadi sentra produksi unggulan. Rangkul para seniman lokal. Selain workshop, sediakan sarana khusus membuat karya limited. Jalin kerjasama, jual harga lelang di showroom ajang pameran. Pengembangan motif bisa di siasati via lomba desain motif batik. Kans menjaring bakat-bakat potensial. Dinamis dan berdaya saing.
Pokok pikiran : Ulasan diatas putus lagi. Dari periodik 3 Agustus 2013 hingga kini, di 13 Mei 2016. Setidak-nya masih saya tinggal beberapa keyword sebagai bahan pengembang wacana di kemudian hari. Catatan paling aneh! mangkrak... ketunda jeda. Lanjut lagi. Tapi sisi positif-nya semakin bertambah rujukan referensi. Yang tentu saja semoga menambah warna khazanah dan geliat pola/buah pikir. Well done...InsyaAllah.
Support Pemerintah Daerah
Bukan bermaksud menafikkan peran pemerintah daerah yang sudah cukup berjibaku demi perkembangan ikon khas daerah sendiri. Sebagai industri tekstil terbaharukan, Batik SaSaMbo bisa jadi akan menjadi fenomena tersendiri. Bak oase segar, ketika perkembangan pariwisata daerah menjadi stagnan. Gak maju-maju, bersemayam ditempurung lama. Kog kenapa cuma yang itu-itu melulu? . Lagi-lagi, tetap saja ditengarai sebagai karya kontemporer pada lintas kurun waktu berjalan. Tapi apakah eksistensi-nya akan tetap bertahan? Menjadi ciri ikonik khas. Senantiasa di-anyomi oleh kebijakan pemerintah daerah sebagai sentra produk potensial tema "original". Entah bakal diperkuat Perda... biar kekuatan payung hukum-nya mengikat dalam sendi kehidupan komunal kemasyarakatan. Nah, ini bisa jadi hal naif.
Faktanya, bahwa apa yang di-alami batik SaSaMbo juga serupa dengan pengalaman apa yang terjadi disegmen kurun awal 90-an. Disaat gencar-gencar-nya, pemerintah daerah maupun propinsi NTB memicu sekaligus memacu sektor pariwisata dan budaya. Apakah itu Lombok dengan prosentase lebih dibanding Sumbawa. Sebab saat itu belum ada gaung "Lombok-Sumbawa promo" seperti edisi 2012. Saat itu seperti-nya jalan sendiri-sendiri. Swear! ini bukan membuka aib, tapi hanya sebagai bahan hikmah nilai pembelajaran saja. Disamping harap maklum saja. perkembangan internet saat itu kan belum semeriah sekarang. Geliat promosi bisa dilakukan oleh oknum personal. Tidak saja lembaga yang berkompeten (bahkan klo dijadikan komparatif akan lebih up to date kanal web/blog/portal milik perorangan. hehehe...). Belum lagi ditunjang wabah penyakit fotografi. yang kelak melahirkan generasi sadar wisata. Melek ber-vakansi.. karena didukung sekelumit informasi bejibun. Apalagi ditunjang macam program acara tipi "my Trips..my adventures", Jejak Petualang dll. Klop dah! Berwisata menjadi semacam arus trend massive. Tapi sisi lain, repotnya tidak disertai bekal pemahaman lingkungan dan peduli ekosistem. Akhirnya terjebak pada konotasi wisatawan para alay doyan narsis. Wisata itu bukan semata gaya hidup hedonis. Miris kan?! Disaat kaum urban sekarang sudah terbekali perangkat pintar ala smart-phone. Menggali informasi bisa lebih instan dan lekas. Tapi gak juga merubah pola hidup. Ternyata faktor doyan baca bukan menjadi mindset. Alhasil ya kblinger begini...,
Ops..., kejauhan! ini mah curcol. Balik lagi bahas kain...,
Tentang sadar lingkungan dan situasi. Bisa dikatakan jika dibanding kain batik SaSaMbo, kain tenun tradisional macem songket Lombok akan lebih bernuansa identitas endemik. Kain yang dikerjakan secara manual (alat tenun bukan mesin) yang secara istilah jawa disebut kain gedog'an (karena patitur perulangan bunyi pemukul kayu) malah lebih sarat filosofi kedaerahan dan falsafah yang dianut masyarakatnya. Ini baru sekedar kain tenun yang ada di Lombok saja. belum lagi mengulas lebih jauh semisal Rimpu dan Tembe ngGoli, khas pakaian adat masyarakat Dompu dan bima (mbojo).
Kain tenun a.k.a Songket buatan pengrajin asli sebenarnya ada di beberapa pelosok. Hanya yang sekarang tetap eksis ada di kubu selatan, berkutat di di Sukarare - Lombok Tengah. Sementara kubu utara ada dibilangan desa Pringgasela (masuk wilayah Lombok Timur). Kedua lokasi ini sangat mendominasi laju perkembangan kain khas nuansa Sasak. Pengerjaan-nya juga sangat lamban. Mengingat satu lembar kain butuh sekian hari dalam proses bikin.
Kenapa disebut sebagai kain tradisional dan punya khas identitas endemik? Sebab kain ini pemakaian-nya berkaitan dengan pelaksanaan upacara ke-agama-an. Ritual adat dan penuh filosofi yang sangat dipatuhi dalam hirarki komunal adat. Bahkan memiliki corak khusus. Dinamakan sebagai istilah ragi. Ada berbagai macam jenis reragian. Merujuk pada istilah motif yang dihasilkan dan fungsi. Beda pelaksanaan acara beda jenis kain yang dipakai. Ada ragi Sari menanti. Ragi poleng, adalah motif kotak-kotak yang jelas mengadopsi (pengaruh) motif kain adat hindu Bali. Jika di Bali kain poleng hanya identik permainan warna hitam-putih-kelabu. Ragi poleng sasak di-modifikasi warna lain. Diantara nama ragi yang paling terkenal adalah Ragi Genep. Seumur-umur saya mukim Lombok Ragi genep hanya menjadi nama resmi jalan di daerah seputaran Sintung dan kampung Banjar, Ampenan.
Entah darimana asal sebutan ragi ini diadopsi. Pastinya kata ragi bagi kalangan komunal sasak juga berkonotasi racikan bumbu. Karena ada dikenal nama ragi Beleq. Momentum acara bgawe (resepsi) biasa tampil pada penyajian bentuk kuliner khusus. Ragi beleq adalah pembauran multi bumbu rempah. Gebyah uyah antara taste hangat merica dan pedas cabe. Mirip-mirip racik bumbu gulai kambing. Namun klo di tebak dengan asas praduga gak bersalah. Justru ragi beleq agak ada rekat korelasi-nya dengan ragit. Ragit penganan khas Palembang. Modifikasi ragit khas kampung melayu Ampenan agak beda. Ragit terbuat dari tepung(campur dikit garam dan air). Berbentuk mirip kulit lumpia..cuma agak tebal. Dulu, saya menamai sebagai plesetan pancake arab. Biasa-nya ada saja momen rowah. Semacam selamet-an lingkup kecil. Si empu-nya gawe akan mengundang para jama'ah sholat subuh. Biasa diadakan momen menyambut ramadhan atau beberapa hari paska penyembelihan kurban. Sambil melantunkan do-doa untuk para keluarga yang meninggal. Sajian utama-nya adalah ragit ini. 'Lumpia' gulung ini akan disantap sambil cocol kuah gulai Kambing. Jangan tanya nikmat suasana seperti apa. Karena ini adalah ajang silaturahmi paling unik yang saya rasakan. Keakraban dan kerukunan warga itu menyatu menyambut gerbang pagi. Penuh kehangatan... sehangat sajian aik Pokak. Seduhan minuman sari jahe. nimbrung racikan pandan-kapulaga-sereh-kayu manis dan gula merah.
Sejauh ini, tentu kalian kebingungan memaknai sarat kemulet bahas? Dari seulas kain kog mendadak nyasar bahasan makanan. Dari konsep duo-konotasi ragi menjadi ragit. Masalah-nya adalah pada awal proses ketika transfer pemahaman itu berlangsung. Akulturasi itu berjalan semena-mena. Kadang semau-mau-nya. Pokok-nya di-istilah-kan begitu-itu dari dulu. Hehehe..,
Dulu, pada awalnya konsep reragian itu saya maknai sebagai standar pakem motif yang dapat membedakan antara satu corak motif dengan lainnya. Reragian bisa juga dimaknai semacam hakikat unsur imbuh bumbu-bumbu tadi. Yang secara spesifik membangun kebersamaan pada hidayah corak maupun motif kain. Bukan saja cuma mengadopsi motif poleng asal Bali. Bahkan ada ragi Samarenda, pasti-nya ini mengacu pada motif Samarinda yang terkenal dengan produk sarung.
|
koleksi museum NTB - dok.pribadi |
Dikotomi ini tentu akan runyam jika dilahap mentah. Tapi akan mudah dicerna ketika di-pilah transfer logika. Pada penulusuran saya pada identifikasi motif kain tradisional, bahkan di musem propinsi NTB pun juga tidak mencantumkan fraselogi ragi. Di etalase khusus kain tradisi khas Sasak hanya disebut Songket (tampak pada inset). langsung disebutkan motif Payung Agung, kain Sokong, Songket bintang Empet. Sementara songket Subahnala, sudah bisa dipastikan merujuk pada wirid SubhanAllah. Yang berarti sarat makna religius - penyucian diri. Pengaruh pada unsur arab. Motif lebih pada permainan bentuk geometik dengan variasi isian (isen-isen). Tidak terbaca secara tersurat. Karena pola-pola ini terbentuk dengan rekayasa kreativitas dan terkait kinerja pola alat tenun. Sudut-sudut persegi. Tanpa bisa menghasilkan pola acak liuk lekukan dinamis.
|
songket Subahnala, koleksi Museum NTB - dok.pribadi |
Dari titik ini setidaknya bisa dipahami. Beda dengan paparan batik yang ditoreh dengan gambar tangan, cap maupun printing. Gambar bisa langsung terpampang dengan sendiri-nya. Ini yang saya katakan sebagai pesan ter-surat. Sehingga julukan motif bisa menyesuaikan tematik obyek. Sementara alat tenun menghasilkan pola tersendiri. Bisa dikatakan sangat kental sinergi dengan warna ke-Islam-an. Termasuk kajian hal pamali untuk mencantumkan gambar mahluk hidup. Sehingga pola geometris kelak di-maknai dengan nama/julukan khusus. Bisa jadi secara fisik gambar pola/motif akan tidak representatif dengan julukan yang disematkan.
Tehnik penyusunan benang tenun untuk menjadi pola kain sangat beda dengan menggambar motif batik pada selembar mori yang sudah jadi. Kain tenun dirancang menyatu dengan pola motif hingga menjadi kain utuh. Jika pada tenun motif lebih terkesan implisit. Maka pada motif batik umum-nya sifat-nya eksplisit. Pengecualian kasus : Motif tenun/songket sasak motif subahnala lebih mirip dengan motif semen (macem kawung) pada batik klasik ala keratonan. Penekanan maknawi lebih pada translasi simbolis.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara. Mengapa para pengrajin songket sasak lebih menamai motif tadi sebagai ragi. Semacam menyebut unsur pembentuk rasa dari citra utuh masakan jadi. Sama-sama hasil olahan dengan cita rasa tersendiri. Dan kemungkinan besarnya konsep ragi ini hanya lebih akrab pada kalangan pengrajin jaman dulu. Entah kenapa mata rantai konotasi ini jadi kehilangan jatidiri. Citra adi-luhung yang semestinya bisa mensejajarkan diri dengan harkat pesan universal di Batik asal Jawa. Hm.. jadi wajar kalo dari cipratan opini ini kelak hadir tagline "Save kain Tenun".
batik baru.. kain songket/tenun. Rimpu.. Tembe ngGoli. Tenun Gedongan asal Pringgesela VS tenun Sukarare. Local wisdom... muatan filosofi. Ragi..demi ragi. Korelasi perkembangan wisata tahun 90an. and 2010. Branded minded... or Brain strategy?
Dokumentasi :
motif batik sasambo
|
motif nyale & kangkung |
|
motif Jagung |
|
motif Kangkung |
|
motif masjid/ mesijit |
|
motif kangkung |
|
motif gendnag belek |
|
zoom motif gendnag beleq |