Minggu, 10 Februari 2013

Green-Belt khas kota Mataram

Aktivitas pagi di lorong Jangkuk
Tentu kita semua pernah mengenal apa yang disebut Green Belt. Atau biasa disebut sabuk hijau yang menghiasi jalur perkotaan umumnya. Berupa deretan tegakan pohon/ terumbuhan baik itu yang berdiri sepanjang kiri kanan jalan aspal, Maupun yang sengaja tumbuh di "pematang" pembelah 2 jalur aspal. Definisi singkatnya yang saya kutip di kamus maya disebutkan "a belt of parks or rural land surrounding a town or city". Jalur taman atau zona pedesaan yang mengelilingi kota. Bahkan bisa dikaitkan sebagai bagian dari program peduli hijau. Entah itu berupa aktivitas pertamanan, gerakan reboisasi, maupun konsep pengelolaan lingkungan lainnya. 
Jika kunjung Jawa. Pemandangan paling eye-catching bagi saya adalah view perbukitan teh. Hamparan meluas batas hingga penuhi kantung visual. Hijau yang menawan. Jejumput ujung dedaun sedikit menambah varian kuning. Dibilas terpa cahaya surya, idealnya saat condong pagi dan jelang senja. Pemandangan tadi akan semakin klop ketika baur aktivitas para ibu pemetik daun teh. Kegiatan Human interest yang selalu undang tekun, ogah berpaling. Maka tidak mengherankan bagi kalangan kaum Jawa-dwipa mengenal istilah pewarnaan tersendiri. Ijo royo-royo.... Seperti terdapat pada bait lirik karya sunan Kalijaga. tembang Lir-Ilir.. tandure wus sumilir (Sayup-sayup bangun dari tidur, tanaman sudah mulai bersemi). Jika mengaitkan teori irisan spektrum warna... entah di posisi mana. Barangkali Hijau Pupus.

Floating Green belt
Bermukim di Lombok. Bukan berarti tidak bakal menemui sajian seperti kajian prakata diatas. Ada banyak kegiatan dan ciri bercocok tanam yang memiliki taste khas kearifan lokal. Mengunjungi atap Bayan (nun sana mendekati up-land Rinjani) kita akan disuguhi konsep Bangket Bayan. Sistem cocok  tanam sawah dan pengaturan irigasi yang dibangun turun-temurun di kalangan komunal Desa Bayan. Sangat khas sistimatik tradisional, high-lander. Artikel ini sebenarnya pernah saya coba ulas. Cuma sayang kehilangan stok dokumentasi pribadi. Sekitar 4 tahun lalu. 
Menurun level pertengahan. Sajian eksotik adalah perkebunan kopi. baik milik perorangan, maupun perusahaan. Brand terkenal yang dikelola oleh satu korporasi adalah merk Kopi555. Cuman belakangan ini sepertinya meredup, tersaingi oleh beberapa brand instan asupan distribusi dari daerah lain. Kopi sachet ala pabrikan. Di ketinggian dataran sedang, lebih identik dengan lokasi penanaman lahan tembakau. Gak berkala. Tapi selingan paska musim tanam padi. Saat jelang musim panen suasana juga menarik. Aktivitas pekerja pemetik daun tembakau juga bernuansa karakter tersendiri. Terutama kegiatan sejak petik daun hingga proses di oven tembakau.  Saya beberapa kali kesempatan sekedar aksi pengamatan. Belum tergerak mendokumentasikan lebih jauh.


 ibu pemetik Kangkung dibawah bayangan jembatan
Next, karakter unik dan beda panen pucuk daun justru ada di bilangan level down-land. Sungai dan aliran kali yang membelah kota Mataram. Merupakan pecahan sungai besar, Sub-Sungai Dodokan. Meliputi kali Meninting, Jangkuk dan Ancar. Bagi saya inilah floating green belt yang memberikan banyak fenomena khas bagi kehidupan warga disekitarnya.
Floating Green-Belt ini berupa tanaman kangkung khas Lombok. Karena tumbuh di lahan basah speiesnya jenis kangkung rambat. Menjulur ambang dipermukaan air. Selain itu vegetasi hidrofit ini merupakan komoditas unggulan bagi sebagian warga yang tinggal di sepanjang sempadan sungai. Mata rantai penunjang finansial. Mudah perawatan. Cukup memanfaatkan ketersediaan lahan basah, atawa Wet-lands. Dan tidak memerlukan pupuk khusus. Segalanya berjalan alamiah. Pasang tonggak khusus dan bentang tali, selanjutnya semua pemilik bersinergi olah dan mengawasi proses tumbuh. Musim tanam kangkung kali dilakukan sepanjang waktu. 

panen harian untuk dijual di pasar terdekat
Hanya stok bisa bervariasi. Melimpah saat diluar musim penghujan. Sebab debit dampak curah hujan tinggi memberi peluang regulasi arus kali lebih kencang. Bahkan riskan banjir. Hanya sebagian warga saja yang bertahan menanam kangkung. Artinya sajian pelecing kangkung masih bisa didapat di rumah makan manapun. Terlebih di menu hidangan rumah tangga.
Seperti juga aktivitas para ibu pemetik daun teh. Kebanyakan hanya kaum ibu saja yang panen di 'taman' apung itu. Cukup berbekal pisau dan ban bekas, atribut wajib untuk penunjang kerja. Mengapung.. potong ujung putik, sambil sesekali membersihkan 'gulma' berupa subsidi sampah. Mereka riang satu sama lain. Berceloteh... senda gurau dinamika sosialita khas warga urban-sempadan. Kerap geli tiap mengamati prilaku-nya. Mereka terlihat seperti bocah di kolam renang, bermain air. Kecipak tangan-kaki bekal 'dunkin-dunat' warna hitam, ngepas di lingkar pinggang.

memilih sampah diantara kangkung
Selain petani kangkung, ada sebagian warga juga berprofesi pencari pasir. Mereka bersinergi meski dengan beda kepentingan usaha. Bahkan diluar jadwal kerja, ada beberapa gelintir orang yang memanfaatkan luang mengais rejeki lain. Memunguti aneka limbah sampah yang terbawa arus hingga mulut muara. Kebanyakan sortir sampah plastik. Artinya secara langsung mereka melakukan pola simbiosis mutualism. Keberadaan usahawan penampung barang bekas telah menciptakan sebuah peluang mata pencaharian. Menurut data statistik mulai marak sejak lima tahun terakhir. Dus, secara gak langsung ampas sampah mulai dilirik sebagai kans nilai tambah, raup sejumlah nominal rupiah.
Khusus aksi kaum pemulung, mereka biasa pinjam pakai beberapa rakit persegi milik para pencari pasir. Bahkan ada juga kerabat penggali pasir yang kerja rangkap. Istilah sasak-nya poroq-poroq begawean timbang momot meco. Iseng bekerja daripada diam sama sekali. Rupanya kegiatan ini memberi pencerahan pembaharu. Kali menjadi bersih. Kangkung secara tidak langsung menjadi semacam filter alamiah. Sekalipun bukan berarti sudah bebas 100% dari sampah. Gulir semboyan inspiratif, reduce.. reuse..recycle.
Semoga kelak kesinambungan ini berdampak positif. Bahkan saya masih terbayang kisah para tetua Kampung Melayu mengenang nostalgia kisah. Jangkuk dulu jernih.... sedalam dasar lubuk...  sebening lubuk hati, dan demi sejengkal niat. Berbenah... bersih-bersih.

*inset foto diambil di lokasi kali Jangkuk - muara. 

Tidak ada komentar: