Saya tidak akan melebar pada rujukan data statistik resmi terkait sejarah dan perkembangan pulau Bungin. Sebaiknya bisa anda baca dalam website yang lebih banyak mengulas detil tentang wacana Bungin. SumbawaNews.
Sedikit mengulas poin-poin Bungin,
Apa saja kelebihan pulau ini dalam jajaran koleksi pulau milik Nusantara? Lebih spesifik merunut pada khazanah kepulauan NTB. Sejalan waktu laju populasi yang kian bertambah, pulau ini-pun bertambah luas. Berangsur kurun lintas waktu. Berdirilah rumah-rumah panggung, satu demi satu. Biasanya ditandai dengan ada-nya pernikahan pasangan pengantin baru. Cikal bakal wadah rumah tangga. Pondasi dasar bangunan didirikan. Secara gotong royong warga saling membantu. Namun tugas awal sepasang calon pengantin adalah diwajibkan mengumpulkan batu-batu disekitar pinggir pulau. Sebagai bahan material pondasi. Bagi saya, agak makin membingungkan statemen ini. Bahkan cenderung dilematis. Bertolak belakang dengan kondisi realitas. (akan saya bahas dalam akhir wacana).
Belakangan pamor pulo Bungin kian menanjak. Padahal menurut info, sumber fokus pemerintah daerah karena diawali pada kasus masalah tingkat rendahnya higienis seperti tipikal hunian standar layak. Pulau ini rawan penyebaran penyakit. Faktor kepadatan antar rumah dengan space terbatas, berjejal seperti yang tampak pada foto satelit diatas. Foto versi baru - karena sebelumnya pulo Bungin terpisah dari daratan induk, lalu dibuatkan jalan tembus. Sepanjang pengetahuan saya.. era tahun 90-an track itu tadinya berupa jalur bentang-jajar tiang listrik. Subsidi fasilitas penerangan bagi warga disana.
Apakah sebagai sebuah intrik dongkrak kondisi keterpurukan? cibir minoritas konotasi negatif, entahlah! Mungkin sudah menjadi pertimbangan lain yang di-olah para stake holder dan pemangku kepentingan. Ini adalah 'daratan-buatan' alias artificial island. Dulu-nya mantan gugus terumbu karang...taket ataupun gosong sebagai debutnya. Sehingga wajar susah ditemui ragam vegetasi disini. Alhasil, warga yang memiliki ternak kambing memberi pakan apa adanya. mulai dari sisa fillet ikan, dan 'ampas' rumah tangga lain-nya. Bahkan lebih unik, musabab keterbatasan pakan, kambing di bungin juga menyantap kertas.
Sejalan waktu promosi pulau ini melekat dengan banner resmi "Kambing Makan Kertas". Demi kiat memancing kunjung wisatawan datang bingkai lahan turisme. Kans PAD dan tentu saja harkat warga Bungin, ktiban getah hidayah. Termasuk tagline yang gak kalah menarik. "Pulau Terpadat di Dunia". Wooow... wah.. wah...
Agenda Bungin terkini....,
Bagi saya pribadi konsep pengelolaan Bungin mestinya menjadi sajian menarik. Alasannya, hampir 3 pertemuan beruntun sebelumnya yang saya hadiri. terasa materi hambar (panas-2 tai oyok). Dua kali pertemuan penyelenggara Diskanlut propinsi NTB fokus fasilitasi dan pemantapan Kawasan Konservasi Kelautan Kab, Lombok Tengah dan terakhir status peralihan penanganan TWAL Gili Indah. Estapet dari Dephut ke pihak DKP.
Kenapa menjemukan, karena pembahasan tidak lebih dari sosialisasi wacana saja. Belum menyentuh substansi tema utama.
Kembali poin, beberapa pentolan Diskanlut prop. NTB esok hari (15 desember 2009) langsung bertolak ke Bungin. Konon Meresmikan status sebagai stok lokasi tujuan wisata ranah pesisir. Sekaligus memperingati hari Nusantara. Singkatnya masih penasaran saya dibikin, knapa Bungin?
Kontroversi promosi & konservasi
Kembali poin, saya mencoba ber-asumsi terhadap sinkronisasi promosi Bungin. Selidik upaya investigasi dari karya lokal film dokumenter berjudul "Crescent Moon over the sea" (Bulan Sabit di Tengah Laut), karya sinematograf berlatar belakang Bungin. Baca detil lebih lanjut di SINI.
Apakah dompleng promo tenar momentum? sehingga instansi terkait kian terpacu mengangkat pamor bungin? Bisa ya.. mungkin juga tidak. Alasan saya sederhana saja. Apakah semata evolusi tujuan promosi lantas mengesampingkan logika berpikir? Juntrung akhir akan jadi bumerang akibat ketidak-jujuran, gelitik konsep pengelolaan tercanangkan.
Pendalaman kasus yang tidak terkuak. Sebagai habitat buatan, Bungin bukanlah konotasi pulau alamiah. Tidak ada calon pengantin memungut batu karang (yang mestinya kategori sudah 'mati') disekitar pesisir. Sisi pulau sebelah mana? Habitual yang terjadi, calon mempelai pria harus bekali diri dengan modal yang tidak sedikit demi cikal bakal pondasi rumah. Perluasan lahan membangun rumah tangga baru. Sebagai entitas perilaku lumrah. Pondasi rumah panggung adalah timbunan bongkah karang, digali dari wilayah perairan sekitarnya. Terminologi beda dengan sekedar 'memungut' karang di pinggiran pantai. Tentu berupa pola yang merusak habitat biota laut. Bahkan pernah dikatakan, nilai-strata pria bajo bungin akan menanjak dilihat dari besar ukuran rumah yang akan dibangun. Katarsis finansial dan sinambung gengsi dan harga diri. Kiblat unsur kasta duniawi...,
Berpaling atau memang gak menggubris konservasi habitat. Seperti itulah potret yang berlangsung. Seberapa besar kontribusi pengrusakan tergantung kemampuan jejalah santroni gugus terumbu yang mampu di rengkuh. Sekali dayung... 2-3 pulau dikebiri habitat terumbu. Jagal lingkungan... percepat ajal ekosistem yang ada.
Muara akhir perspektif,
Lalu kemana kebijakan kelola Bungin diarahkan oleh Pemda ? Mempertahankan status quo dari kondisi yang ada. Mendongkrak sinyalemen pamor bungin dengan kontradiktif anti konservasi lingkungan. Atau mulai sekarang merupakan gaung titik awal pembenahan inovatif dengan sisip 'misi' terselubung. Menyelamatkan aset stok wisata beserta komunal etnis didalamnya. Bekali diri dengan tematik ramah lingkungan. Paham wawasan dan nilai kawasan.
Kans opsi terakhir sudah ada. Akses masuk bungin sudah permanen! Bagi saya statusnya kini jelang menyatu dengan daratan utama. Kesampingkan citra buruk untuk menjadi lebih baik. Semoga tercapai.....,
Rasa-nya poster karya saya sendiri bisa ikut tampil jd penghias insert... mumpung ada korelasi kasus.