Kamis, 09 Oktober 2008

Langkah Konservasi

Upaya Melestarikan Laut Dengan Terumbu Karang Buatan ( TKB )

Tergerak mengulas bahasan editorial Suara Merdeka edisi Selasa, 12 september 2006, halaman 19. Tulisan ini hadir sebagai catatan pinggir. Seperti biasa, akibat gak ada cara jitu temukan media salur opini. Cuma gara-gara ungkapan Kasubdin Kelautan- Dinas Perikanan dan Kelautan, Retno Dwi Irianto MM. Membangun dan menata kawasan pesisir pantai dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, meliputi menyediakan dan menetapkan kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Dilakukan sebagai upaya melestarikan ekosistem laut.

Definisi Terumbu Karang Buatan
Berawal dari serapan bahasa Inggris “Artificial Reef”, yang kemudian pada penerapannya banyak mengalami kerancuan pemahaman. Lalu imbasnya meluas endap hampir disemua pola pikir, dalam banyak proyek pemasangan TKB. Hal yang patut di luruskan sesuai porsi-nya.
Pada satu literatur yang saya temui, istilah yang lebih mengena adalah “Artificial Habitat” *. Sebagai istilah induk dari lingkup kiprah terkait. Pada banyak kasus, pelaksanaan penempatan TKB di dasar lokasi perairan tertentu, menggunakan beberapa variasi bentuk. Dengan tujuan sebagai rumah ikan, mencari mangsa sekaligus berkembang biak. Sehingga tercipta siklus hidup komunitas biota air. Tak ubahnya metode lama yang pernah kita kenal sebagai tehnik Rumpon. Hanya target-nya berbeda. TKB di dasar laut di khusus-kan sebagai rumpon bagi ikan jenis Demersal, yang secara langsung ber-asosiasi dengan terumbu karang ( Reef ).
Tehnis lain, di kenal metode tali pancang dengan varian rumbai dan pemikat berteduh ikan kecil. Sehingga mengundang komunitas ikan jenis Pelagis (kelompok penjelajah) untuk singgah berburu mangsa. Utama-nya di perairan laut dalam. Dalam bahasa “sono-nya” kedua kategori tersebut bermuara pada istilah yang di sebut Fish Aggregating Device ( FAD). Namun dalam terjemah bahasa FAD kerap disebut juga Rumpon Laut Dalam.
Artificial Reef ataupun TKB, merupakan sub-ordinat dari penjabaran Artificial Habitat diatas tadi. Ia adalah salah satu konsep upaya pelestarian komunitas terumbu karang. Diterapkan pada satu wilayah yang mengalami degradasi kuantitas terumbu-nya. Baik disebabkan kerusakan alam maupun ulah manusia, - natural or artificial damage.
Selama ini dalam pelaksanaan TKB sering dilakukan dengan menyertakan tehnik transplantasi, yaitu memotong beberapa bagian segmen tubuh dari koloni induk karang tertentu untuk kemudian di pindah pada media khusus tumbuhnya /substrate. Tentunya dengan menentukan kedalaman yang mudah terjangkau oleh sinar matahari. Sebagai salah satu penentu ke-ideal-an tempat yang akan di jadikan area trans-lokasi. Dari lingkup habitat asli, di lakukan tindak transplant pada media khusus, hingga pemindahan koloni maupun jenis karang tertentu yang di jadikan induk. Hingga capaian hasil proses regeneratif itu di peruntukan untuk apa. Apakah di pasang pada TKB atau-pun pada habitat karang alami yang sudah parah kerusakannya. Dengan catatan terdapat kesesuaian sifat fisik lahan, utamanya kondisi substrate.
Untuk menjaga kelangsungan hidup-nya, karang hasil transplantasi harus di amati dalam kurun waktu tertentu. Utamanya terhadap pengaruh biota kompetitor lain, seperti Ascidian dan Sponge. Perawatan dan pembersihan berkala mutlak di lakukan. Cara ini di anggap lebih efisien di banding pada metode transplantasi lain, yaitu profil terumbu karang buatan dengan sistim penyedia aliran listrik arus lemah, di kenal dengan nama “Bio-rock”.
Singkatnya, “habitat” rumah ikan buatan tersebut yang kemudian di tanami karang-karang hasil transplantasi beserta substrate kecil bawaan-nya. Selanjutnya, untuk mudah di ingat, inisial TKB lebih familiar tersosialisasi. “Daripada mumet-njlimet di bebani istilah….”, begitu kata seorang dosen penggiat tema samudera, ketika pernah saya coba konfirmasi.

Penempatan TKB di kabupaten Batang
Tanggal 4-12 september lalu genap 9 hari saya tergabung dalam kegiatan pemasangan TKB di pesisir lingkup perairan Batang. Terletak diantara pantai Sigandu dan Pantai Ujungnegoro, Nol derajat dari gugus karang batu ( Karang Maeso ) lurus arah utara kira-kira jarak 400 meter.
Secara umum tipikal dasar laut landai, dengan tingkat sedimentasi tinggi. Lokasi penempatan dipilih, setelah dilakukan pengambilan sampel biota terwakili. Pada lingkar dasar Karang Maeso banyak di temukan Gorgonian, ber-genus Elisella. Juga di temukan beberapa jenis bintang laut dan kerang-kerangan.
Beton-beton TKB pada pemasangan di Batang di susun dengan formasi 3 tumpukan membentuk piramida. Tiap unit berjumlah 14 blok. Dengan jumlah susun dasar 9…tengah 4…atas 1. Peletakan TKB di dasar perairan merupakan tugas penyelam untuk menempatkan pada posisi sempurna bentuk. Dibantu oleh pemandu kode isyarat tali berada dipermukaan air. Tugasnya menghubungkan sinkronisasi instruksi, dari penyelam dengan para tukang perahu yang menurunkan per-blok satuan TKB. Satu tali utama di kekang pada 1 “peletakan” blok pertama. Selanjutnya blok-blok lain di turunkan secara perlahan dengan tali lain, yang di kaitkan menggunakan karabiner pada tali utama tadi. Penurunan harus secara perlahan mengikuti informasi penyelam via pemandu isyarat. Tahan…Ulur….sesuai hentak kode yang di sepakati. Hal ini mutlak dilakukan, mengingat besarnya resiko bagi para penyelam bila tertimpa TKB. Yang bila itu terjadi akan berakibat fatal. Bobot per-satu blok TKB rata-rata mencapai 120 Kg. Belum lagi ditambah tingkat kecerahan air yang mendekati visibility terbatas, sebagai akibat tinggi-nya sedimen lumpur. Turut memperkeruh suasana pandang bawah air, apalagi saat pergantian pola arus pasang-surut. Tugas pemandu isyarat menjadi konsekuensi tersendiri. Penyelam lebih banyak bekerja pada insting dan indera peraba. Menjadi poin, bahwa penyelam harus bersertifikasi khusus diklat Scuba. Memiliki pengalaman jam selam yang terbukti valid pada log book-nya. Penyelaman pada kondisi tersebut secara tidak langsung akan menunjukkan tingkat kemampuan dan kemauan individual. Tingkat ketenangan dan ke-efektifan bekerja-nya. Kuantitas tercermin pada kualitas.

Perlunya sosialisasi
Pemasangan TKB di perairan Kabupaten Batang bukan berarti tidak mendapat sikap skeptis bagi sebagian masyarakat nelayan. Keberatan itu sempat di ungkapkan oleh warga pesisir dari kelurahan Roban Barat dan Roban Timur. Hal yang lalu cepat di tanggapi oleh DKP setempat melalui gelar sosialisasi malam hari, penjabaran seputar penempatan TKB tersebut.
Inti dari dialog malam itu lebih pada kekurang-pahaman. Sebagian warga Roban Barat dan Roban Timur. Mereka menuntut adanya pemasangan penentuan zona pembatas pada lingkar lokasi penempatan, terkait rasa khawatir jaring-jaring ikan mereka rusak tersangkut pada tumpukan TKB. Sebab tak lain, lokasi itu juga merupakan jalur menebar jaring mereka.
Lain halnya komunitas nelayan Ujungnegoro, pada bulan tertentu mereka turun laut khusus berburu udang Rebon. Suatu alasan yang tidak pernah dipahami oleh masyarakat nelayan Roban Barat dan Timur. Limpahan Gorgonian pada lingkar ‘Karang Maeso’-lah areal berpijah bagi udang Rebon. Suatu rangkai ekosistem kehidupan indikasi habitat bawah air. Ada faktor ruang dan ber-penghuni.
Lebih jauh ke tengah dari lokasi TKB yang terpasang sekarang, juga ada lokasi TKB yang telah di-instal tahun 2004 lalu. Terlihat jelas karena di tandai dengan Mooring buoy besar. Sayangnya masyarakat belum memanfaatkan optimal. Mungkin hanya beberapa nelayan tertentu saja. Contoh nyata, Bapak Tarsani nelayan TPI-Batang. Beliau pula yang banyak berperan dan membantu kami dalam pelaksanaan pemasangan TKB. Dan ini kali ke-dua.
Begitu antusias beliau bercerita program Fishing Trip yang beberapa kali dia lakukan, tepat di lingkungan TKB terpasang. Punya pelanggan tetap para Fishing’s Hobbiest dari berbagai profesi. Dari pejabat eselon tinggi hingga guru.
Menurutnya, kegiatan ini menjadi pengisi waktu senggang mencari ikan. Berdampak langsung pada alternatif pendapatan-nya. Penjual jasa di bidang wisata memancing. Sebuah nilai keteladanan yang belum banyak ber-peran aktif.

Buah kenang
Bagi saya, pengalaman ini menjadi pelengkap biografi pribadi. Terbayang kondisi terumbu karang di NTB yang masih terasa lebih ber-ada, meski belakangan inipun ber-label kondisi memprihatinkan. Begitu sulitnya memadukan langkah pada tingkat kebijakan menerapkan konservasi. Apalagi bicara program Rehabilitasi.
Areal pesisir Pantura lebih memilukan lagi. Namun saya akan lebih kagum bila program TKB-nya sukses di masa mendatang. Boleh jadi bangga, karena pernah ikut terlibat di dalam satu aktivitas realisasi upaya-upaya tadi.
Melihat profil landai Pantura-Jawa Tengah, saya jadi ingat tehnologi pencipta gelombang. Pernah di seminarkan dalam temu-bincang para pelaku wisata Surfing skala international di Lombok. Mengubah kawasan pantai ber-ombak tenang menjadi lebih garang. Caranya, dengan membangun variasi lajur tembok penghalang buatan (Barrier Wall). Penentuan lingkup zonasi dan perhitungan tematik Amdal, hingga ber-implikasi pada konsep pengelolaan wisata marina.
Di benak saya berfantasi, andai saja selasar jalan pantai Sigandu memanjang arah timur. Berpenampilan layaknya Boulevard-Manado. Ombaknya beriak seperti Kuta-Bali. Parasnya tentu makin cantik setelah di permak dan di Make-up. Sejalan ide dan opini bersama, tanpa terpolusi niatan Mark-up dana.
Walikota Mataram-Lombok sempat kepincut ide tersebut. Niatan mengubah wajah wisata pantai Ampenan jadi miniatur seperti Kuta-Bali, surut terbentur alokasi dana terbatas. PAD belum mumpuni. Terbukti bahwa beda karakteristik, lain juga tujuan penerapannya.


Taufan Galaxy
Staf Yayasan Juang Laut Lestari
Mataram-Lombok


*Artificial Habitats For Marine And Freshwater Fisheries – William Seaman, Jr & Lucian M. Sprague. ACADEMIC PRESS, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher

Tidak ada komentar: