suasana Rebo Buntung di muara kali Jangkuk - Ampenan |
Mengulas catatan lalu. Selang 2 hari dari nota terakhir di liputan kebakaran dan paska tsunami "kecil" di pesisir Pondok Prasi - Ampenan. Ternyata masih ada kelanjutan agenda lain. Pampang baliho besar di jembatan Jangkuk cukup tegas merapal informasi. Akan digelar ritual adat " Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan.
Hanya saja lokasi perhelatan akbar ini agak jauh dari Mataram. Tepatnya di Pantai Tanjung Menangis, Ketapang. Kecamatan Pringgabaya masuki wilayah Kabupaten Lombok Timur. Ada banyak hal yang melatar belakangi kenapa momen ini menjadi sangat istimewa. Pertama, dikatakan warisan leluhur sebagai ritual adat yang layak dipertahankan eksistensinya. Dinas pariwisata setampat bahkan mendukung penuh, mengingat kans sangat potensial sebagai event wisata. Sehingga telah dinyatakan sebagai agenda wajib dilaksanakan tiap tahun. Sekaligus sarana hiburan bagi rakyat.
Apakah acara ini hanya dilakukan di wilayah Lombok Timur saja? Gak juga! satu referensi kanal maya menyebutkan ritual rebo Bontong hanya dilaksanakan di 3 tempat saja. Yaitu sungai Jangkuk, tepatnya dibagian alur sungai yang membelah kota, tepat di perkampungan Dasan Agung. Pantai Tanjung Menangis - Lotim, dan pantai Kurandji, masuk wilayah Lombok Barat. Pesisir persis arah zona Ampenan selatan. (tampak pada inset diatas).
Tapi dari hasil mesin pencari, saya mendapati bahwa ritual ini-pun dilakukan oleh para warga gili MatRa (Meno-Terawaangan- Aer : red). Dan jika mengulas kali Jangkuk. Bahkan di spot muara, warga Kampung Melayu masih melakukan ritual ini. Sekalipun hanya cuma mandi.. sekedar ber-basah ria. Bersenang-senang... senda gurau, sambil balut niat setengah hati dengan bekal keyakinan ala kadar, mandi safar. Demi menyambut momen babak berikutnya, Maulid Nabi Muhammad SAW.
Jika di Lombok dikenal Rebo Buntung, masyarakat Jawa, Sunda, kalimantan Selatan dan Bangka Belitung menyebut istilah Rebo Wekasan. Baik rebo Bontong dan Rebo Wekasan meyakini hal yang sama. Yaitu membersihkan dan mensucikan diri sebelum memasuki perayaan maulid Nabi. Kedua tradisi yang cuma beda istilah ini merupakan sebuah nilai muatan lokal yang terwujud dalam bentuk semangat akulturasi antar agama dengan kearifan budaya setempat. Yang kembali lagi, demi tujuan perkayaan promo wisata akan sangat berpeluang dikembangkan dan mengundang pundi PAD. Itu alasan paling mudah ditengarai. Digaris bawahi... layak bertanda centang-perenang. Hehehe.....,
Hanya saja lokasi perhelatan akbar ini agak jauh dari Mataram. Tepatnya di Pantai Tanjung Menangis, Ketapang. Kecamatan Pringgabaya masuki wilayah Kabupaten Lombok Timur. Ada banyak hal yang melatar belakangi kenapa momen ini menjadi sangat istimewa. Pertama, dikatakan warisan leluhur sebagai ritual adat yang layak dipertahankan eksistensinya. Dinas pariwisata setampat bahkan mendukung penuh, mengingat kans sangat potensial sebagai event wisata. Sehingga telah dinyatakan sebagai agenda wajib dilaksanakan tiap tahun. Sekaligus sarana hiburan bagi rakyat.
Apakah acara ini hanya dilakukan di wilayah Lombok Timur saja? Gak juga! satu referensi kanal maya menyebutkan ritual rebo Bontong hanya dilaksanakan di 3 tempat saja. Yaitu sungai Jangkuk, tepatnya dibagian alur sungai yang membelah kota, tepat di perkampungan Dasan Agung. Pantai Tanjung Menangis - Lotim, dan pantai Kurandji, masuk wilayah Lombok Barat. Pesisir persis arah zona Ampenan selatan. (tampak pada inset diatas).
Tapi dari hasil mesin pencari, saya mendapati bahwa ritual ini-pun dilakukan oleh para warga gili MatRa (Meno-Terawaangan- Aer : red). Dan jika mengulas kali Jangkuk. Bahkan di spot muara, warga Kampung Melayu masih melakukan ritual ini. Sekalipun hanya cuma mandi.. sekedar ber-basah ria. Bersenang-senang... senda gurau, sambil balut niat setengah hati dengan bekal keyakinan ala kadar, mandi safar. Demi menyambut momen babak berikutnya, Maulid Nabi Muhammad SAW.
dewasa.. tua-muda ngumpul jadi satu |
Dilema 2 kubu...,
Agak riskan, bahkan cenderung miris. Ketika sebagian pihak mengaitkan seolah momen ritual adat rebo buntung dikatakan syarat nilai agama. Tuntunan mana? agama mana?. Terlebih bakal menyesatkan jika ungkapan macam ini dilontarkan oleh pemuka agama. Tokoh agama dengan plat resmi islam. Saya akan maklum klo sekedar diucapkan oleh petinggi instansi pemerintah. Toh sekedar jadi rekayasa demi obsesi mendongkrak pamor wisata. Dan yang makin parah beberapa artikel yang mengulas wacana yang sama, pun pula, ada yang dengan santai menulis, ber-kalimat penutup...Adat bersendi syara'... syara' bersendi Kitabullah.
Agak riskan, bahkan cenderung miris. Ketika sebagian pihak mengaitkan seolah momen ritual adat rebo buntung dikatakan syarat nilai agama. Tuntunan mana? agama mana?. Terlebih bakal menyesatkan jika ungkapan macam ini dilontarkan oleh pemuka agama. Tokoh agama dengan plat resmi islam. Saya akan maklum klo sekedar diucapkan oleh petinggi instansi pemerintah. Toh sekedar jadi rekayasa demi obsesi mendongkrak pamor wisata. Dan yang makin parah beberapa artikel yang mengulas wacana yang sama, pun pula, ada yang dengan santai menulis, ber-kalimat penutup...Adat bersendi syara'... syara' bersendi Kitabullah.
Unik memang. Seperti sudah menjadi tabiat kolot, soal kait-mengait antar kejadian. Mungkin sudah anugerah watak mendasar klo kita paling bisa bikin rangkaian momen satu dengan lain. Sambung... jalin-pilin momentum. Pokoknya harus berantai !! dan bila perlu di perkuat dengan titah tokoh agama lokal. Pasal mau di tunjang hadist atawa landasan ayat Qurani, yang sebisa mungkin mepet makna pendukung. Bukan esensi ... namun cukup nyerempet secara bunyi bahasa. Oke-oke saja.....,
Urai kasus mudah. Semenjak awal tahun 2013 perilaku cuaca berubah intensitas ekstrim. Secara kajian BMKG ditengarai sebagai akibat badai Narelle. Beberapa wilayah di Indonesia yang dilalui 'alur badai' rentan mengalami hal serupa. Sama halnya wilayah Nusa Tenggara dikatakan juga terkena dampak sekedar 'ekor' badai Narelle. Lucu-nya dengan ada-nya limpah badai tadi gelaran ritual rebo bontong diselenggarakan. Segera di wujudkan dalam pelaksanaan sembah laut. Berbaur kutub berbagai nalar dan referensi kajian nara sumber. Opini lain bilang, menjelang ritual rebo bontong ditandai dengan transfer energi alam berupa aneka rupa penyakit. Masuk akal sih! toh badai notabene angin adalah media natural yang mampu memindahkan epidemi penyakit antar zona di belahan bumi kita. Perubahan iklim global sudah cukup mampu memberi dampak itu. Semisal mulai beredar-nya benih penyakit baru yang sebelumnya hanya ada / khas wilayah negara tertentu. Hatta, dulu-nya berada di wilayah ter-isolir sekalipun.
Dan ini semacam menjadi sinkronisasi dari ritual rebo bontong. juncto mandi safar pelaksanaan dekati fenomena kejadian badai Narelle. Konotasi wujud syukur sekaligus menolak bala yang dilakukan dengan melakukan larung sesaji. Andai saja tidak ada kejadian badai di awal tahun, lalu dalil apa lagi yang bakal jadi alibi? Pergerakan dinamika waktu yang seandainya di tahun berikut (2014) tidak ada Narelle. Kemudian jatuhnya safar persis masuki februari yang biasa ditandai dengan angin besar jelang Gong xi fat chai. Apakah badai tahun baru cina itu akan ikutan jadi alibi demi dalil kuat penyelenggaraan ritual adat. Entahlah...,
Bedah runut, toh sebenarnya acara larung sesaji di Lombok sebenarnya juga sering dilakukan oleh komunal masyarakat nelayan di wilayah Tanjung Luar. Saya tau-nya dengan istilah Ngalamak Lauk. Hanya saja masih bersisip unsur kepercayaan Animisme, balur dengan nuansa adat sulawesi yang diwarisi leluhur adat komunal Bajo, khas masyarakat pesisir.
Lalu lebih ditelaah lagi, tentang mandi safar. Tentang konsep berbenah, tentang program bersih diri yang konon entah diyakini semacam tuntunan demi afdol-nya masuk agenda Maulid Nabi. Menjadi ajang hiburan rakyat. Terlebih menjadi agenda menarik bagi khazanah menarik minat wisatawan untuk kunjung ke daerah. Yah! apalah beda-nya dengan mandi jama'ah bagi masyarakat hindu di India, bergenang-genang ria di sungai suci Gangga.
Mau dikaitkan apalagi? kalo masih kurang, tengok saja diwilayah Kabupaten Lombok Utara (KLU). Bahkan ada 1 wilayah yang ber-inisial Gangga. Hanya saja point of interest yang sering diunggah adalah site air terjun. KLU yang terlahir sebagai kabupaten terbaru (2008) sudah barang tentu akan menjadikan sebagai aset wisata alamiah-nya. Karena dari bentang lansekap, selain laut.. primadona 3 gili Matra. Bagian kaki Rinjani merupakan stokist dari beberapa juntai air terjun. Hanya saya belum tau tahapan ide apa yang akan digarap oleh pemda setempat. Toh bisa saja, seandai-nya dalam perkembangan membangun kota Hijau, saya pernah mendengar istilah Sister City. Dimana ada akad kolaborasi antara 2 kota beda negara menjalin kerjasama demi rupa-padan dan ciri khas adat kultur, secara misi dan visi memiliki program kompak dalam terapan aksi. Dan bahu-membahu membangun citra pariwisata yang mengandalkan utamakan lebih peduli HIJAU.
Kenapa tidak, jika kemudian Gangga (KLU) menjadi semacam miniatur sungai Gangga India. Terlepas apakah disana... ditubuh cabang anakan sungai (creek) berpeluang dikembangkan beberapa titik ajang ritual mandi suci. Tentu bukan latah mengarahkan pada konotasi mandi safar. Tapi mandi sebenar-benar mandi. dalam arti harfiah dan etimologi muasalnya. Hehehe.....,
Bahasan jelang titik nadir...,
Perihal versi bersuci. Ternyata tidak juga cukup bagi kita 5X dalam sehari. Terlebih jika masih ditambahi ibadah sunnah lain-nya. bersuci demi bersuci... ulang-bersulang hakikat limpah hidayah air. Menampik kondisi krisis minim bahan liquid.
Lalu bagaimana bila ritual tolak bala tidak tercapai. Entah jika secara islami bisa berwujud istisqo' (mohon curah air) maupun pelaksanaan sholat Taubah sekalipun. Enggan dilakukan oleh umat pemeluk. Sebab niat yang tumpul. Setengah hati... gak rela kaffah, akhirnya senantiasa berpikir alternatif. Jahil-jahil.. liah-liah*.. modernis!
Bahkan, bukankan secara gamblang begitu sering disisip dalam bait qunut subuh. Sambil membalik telapak tangan, sang imam pemimpin... di-amini jama'ah komplit. "Allahummad fa' anna minal bala, faqsa..dst".
Akhirnya, seolah tiba pada konklusi. Jatuhnya bala' kalaupun memang bakal datang secara kehendak sang Kuasa, bakal selalu menjadi kutub dilematis. Disatu sisi umat muslim (disini) rajin tengadah demi menghadang datang-nya Bala'. Namun sebagian yang lain justru mengharap bala' untuk disegerakan tiba. Terwujud... dan kemudian lalu dijadikan ajang "pesta" semarak. Mensyukuri bala'. Tidak ada lagi kontinuitas pahami super indera Sang Pencipta. Tidak akan pernah ada Tuhan yang Maha mengetahui segala isi hati. Lupakan juga, sebaris statemen Kitabullah.. bahwa Allah maha pengabul... dan menuruti segala apa yang di mau oleh mahluk-Nya.
Lalu bagaimana bila ritual tolak bala tidak tercapai. Entah jika secara islami bisa berwujud istisqo' (mohon curah air) maupun pelaksanaan sholat Taubah sekalipun. Enggan dilakukan oleh umat pemeluk. Sebab niat yang tumpul. Setengah hati... gak rela kaffah, akhirnya senantiasa berpikir alternatif. Jahil-jahil.. liah-liah*.. modernis!
Bahkan, bukankan secara gamblang begitu sering disisip dalam bait qunut subuh. Sambil membalik telapak tangan, sang imam pemimpin... di-amini jama'ah komplit. "Allahummad fa' anna minal bala, faqsa..dst".
Akhirnya, seolah tiba pada konklusi. Jatuhnya bala' kalaupun memang bakal datang secara kehendak sang Kuasa, bakal selalu menjadi kutub dilematis. Disatu sisi umat muslim (disini) rajin tengadah demi menghadang datang-nya Bala'. Namun sebagian yang lain justru mengharap bala' untuk disegerakan tiba. Terwujud... dan kemudian lalu dijadikan ajang "pesta" semarak. Mensyukuri bala'. Tidak ada lagi kontinuitas pahami super indera Sang Pencipta. Tidak akan pernah ada Tuhan yang Maha mengetahui segala isi hati. Lupakan juga, sebaris statemen Kitabullah.. bahwa Allah maha pengabul... dan menuruti segala apa yang di mau oleh mahluk-Nya.
Catatan Redaksi
* Liah : dalam bahasa lokal sasak bermakna liar. grasak-grusuk