Minggu, 12 Juni 2016

Becak dan nostalgia Ramadhan


ilustrasi comotan asal internet.
Dulu semasa bocah di Malang (kurun 80’s..tema oldie)  Menjalani agenda shaum bisa jadi cerita menarik tersendiri. Di komplek kampong kota tempat saya tinggal, Kotalama. Pemukim warga pendatang asal Madura punya tabiat unik. Terkait tematik kecerdasan financial yang ditanamkan sejak dini pada anak keturunana mereka. Salah satunya adalah memilki Becak. Meski gak harus di tunggangi sendiri, tapi bisa disewakan kepada becak driver lain. Menerapkan sistim bagi hasil sesuai akad. Hasilnya bisa jadi tabungan bagi keperluan anak, kelak dikemudian hari. Jadi, punya becak itu sepeti memiliki asset armada moda transportasi umumnya. Semacam oplet, helicak dan bemo.

Nah! Becak milik tetangga depan rumah menyimpan sejarah silam masa bocah khas tematik urban. Menyambut hari-hari ramadhan menimbulkan keriangan tersendiri. Bisa jadi masa itu juga ada geliat fluktuasi situasi ekonomi yang bergejolak. Tapi apalah hal-hil yang begituan. Akan sangat tidak nyantol di benak kami selaku bocah. Life is so easy going…
Kembali soal becak di musim puasa. Saya gak gitu suka dengan ‘patrol’. Itu-tuh aksi unjuk bebunyian untuk membangunkan warga saat jam makan sahur. Istilah malangan-nya “Kote’an”. Nimbrung dengan rekan Madura banyakan usil-nya. Selain pukul-pukul berbagai macam bekal alat apa-adanya. Kadang diselingi usil yang kelewatan. Malah agak ‘neror’ notabene warga yang sudah disasar oleh kelompok kecil tadi. Biasanya tipe tetangga yang galak pada bocah. Atau tipikal pelit berbagi hasil buah tanaman yang dimiliki. Bisa juga keusilan ekstrim lain. Yang mungkin agak gak pantas diumbar dimari. Hehehe… biar gak nulari hawa efek negatif dari para ekstrimis berwujud bocah.

Nah, saya sih bukan tipe anak super alim. Tapi juga kadang juga masih sadar kadar  dan batas nila-nilai kepantasan. Terutama gak doyan usil yang agak kurang ajar terhadap orang-orang dewasa. Jadi pada porsi tertentu mulai mengatur pilih teman. Disisi lain memang tipe saya memang gak suka dengan tema-tema stag. Temen itu-itu saja. Selalu mencari keasyikan nimbrung dengan rekan lain. Mendingan pilih blusukan gang kecil di kampung-kampung sebelah. Pakai Becak! Yang nimbrung bisa 4-5 anak sekaligus. Bisa 6, asal 1 duduk nangkring di penutup fender ban belakang. Agak kuat.. karena bahan-nya terbuat dari plat besi tebal. Saat kejadian yang gak bisa dbikin lupa. Rekan pemilik becak bernama Mat-Rudji. Dalam setiap aksi blusukan dia selalu ikut kawal. Sebab gak bisa begitu saja yakin meminjamkan asset-nya tanpa kontrol ketat. Kebetulan dia ngalah duduk fender, sementara anak lain pada milih duduk jok utama. Yang berpostur tubuh besar, dan memang lebih senior akan berpotensi sebagai tukang pancal/kayuh.
Sekali waktu saya didaulat jadi tukang kayuh. Maksudnya biar gak enak-enakan jadi penumpang sadja. Tapi dasarnya gak pernah enyam tehnik yang benar. Baru pada kayuhan awal start..maklum, dengan menyesuaikan berat tunggangan, posisi becak langsung miring. Hal ini bikin para temen yang di jok pada otomatis berloncatan. Menyelamatkan diri. Hehehe…, garuk kepala sambil saya cengar-cengir. Padahal saya belum tuntas unjuk kebolehan. Meremehkan sekali mereka!
Segi positifnya. Akhirnya saya memang jadi porsi anak bawang. Gak bisa diganggu gugat. Karena secara postur saya paling kecil. Aksi mbecak-pun dilanjutkan. Mau gak mau si Sholeh senior (almarhum) kudu rela jadi tukang pancal-nya. Mat Rudji… yang cukup dipanggil Rudji masih menduduki singgasana fender belakang. Gang demi gang kami lewati… hingga tiba di satu ujung mulut gang mengarah aspal jalan utama. Becak meluncur kecepatan sedang…ada gundukan polisi tidur. Roda depan berhasil melewati… giliran ban belakang..Eh, ada suara aneh seperti kampas rem berdecit. Sembari ditambahi suara gaduh si Rudji di belakang. Rupanya, lonjakan ban belakang melewati gundukan tadi berujung insiden kecil. Tumit kaki Mat Rudji terselip diantara pelek ban. Sholeh cepat ngerem! Kami semua turun dari jok. MatRudji duduk di hamparan aspal sambil mengaduh kesakitan. Nangis juga! Lha wong tumit belakangnya agak terkilir dan berdarah sedikit. Kami trenyuh melihat penderitaan yang dialami-nya.
Tempat itu jadi pit-stop sejenak kami. Sambil menghibur si Matrudji agar sedikit pulih dari syok ringan-nya. Nah, selang sekian menit kami-pun bergegas untuk pulang. Jadwal makan sahur di rumah masing-masing. Eh ada lagi celetukan si Sholeh. “Oalaa Rudji… nasib-mu kog yo apes. Wis jenenge Rudji…sikil-mu KO karo ruji ban becak”. Seketika menggelagar tawa kami… menghias perjalanan balik kampung. Kali ini saya ngalah duduk di tahta belakang fender. Senyap sesekali di alur laju becak. Mendadak saya cekikikan sendiri. Gak bisa mendam gelitik ungkapan si almarhum Sholeh tadi. Ah…, kenangan manis ini semoga jadi catatan amal baik untuk masbro Sholeh di hadirat alam-Nya.
Kepada rekan-rekan saya di Malang sana. Bisa jadi kita tak lagi lancar bertegur sapa seperti keriangan di masa lalu. Namun paling tidak, serpihan mozaik tutur kata ini bisa menjadi pengikat silaturahmi penguat tersendiri. Selamat jalani Ramadhan 2016. Bersama anggota keluarga masing-masing. 


Marhaban ya Ramadhan,  



Tidak ada komentar: