Ternyata benar pembalikan pepatah di artikel saya pendahulu. Daripada hujan Batu di negri orang…lebih baik hujan Emas di negri sendiri. Bisa terlihat pada fenomena penambang Emas tradisional di wilayah Sekotong – Kabupaten Lombok Barat. Marak-nya penambangan emas di wilayah perbukitan Sekotong, seolah jawaban bagi geliat masyarakat lokal. Miliki kiblat lahan pekerjaan baru di negeri sendiri.
Kalo ditanya bagian mana dataran Lombok Barat mana saja yang memiliki kandungan emas, hampir semua orang bilang “kunjungi wilayah Sekotong. Hampir seluruh perbukitan disana bisa dibilang jadi incaran para pemburu logam mulia – harta perut bumi. Dulu saat masih bocah, saya pernah kenal istilah “nugget” dari bacaan cergam karya Karl May. Petualangan Old Shatterhand (cowboy)di wilayah komunal bangsa Indian – penghuni asli benua Amerika. Nugget berarti bukit emas. Sebagaimana juga maktub makna sama pada isi kamus. Bangsa kulit putih (Benua Eropa) berbondong datang demi upaya eksplorasi. Ekspansi usaha mencapai taraf hidup yang lebih baik. Gak juga bakal heran… kisah ini selalu dibumbui kisah tragis. Penduduk asli (kaum Indian) kadang harus terusir, terjajah, dan dihimpit aksi brutal para kaum hedonis tadi.
Baru lintas kemarin...3 Juli 2009,
Tersuguhkan lagi berita penganiayaan TKI illegal di negeri jiran-Malaysia. Kedapatan masuk di pelabuhan langsung di gebuk pihak keamanan dan warga sekitar. Sudah basi…, tapi seolah jadi takaran rutinitas kaum emigrant asal Indonesia. Fenomena hijrah-nya sebagian populasi demi mengais rejeki di tanah rantau. Menanggung apapun resiko yang setiap saat bisa mereka terima…mungkin dengan lapang dada. Dan kapan berakhir… gak pernah jelas acuan juntrung-nya.
Kembali mengamati nugget-nya Sekotong. Dulu tiap kali naik feri seberangi selat Lombok selalu saja disuguhi view jajar perbukitan selatan teras Lombok. Gak pernah disangka sama sekali, ternyata zona itu menyimpan berjuta potensi dibalik wajah gersang-nya. Dan sejak 2 tahun terakhir ini sudah mulai menunjukkan hasil-nya. Sekalipun mungkin aktivitas tambang tradisional disana sudah berjalan… under ground activity. Gak ter-ekspos media. Demi kemaslahatan berbagai empu-nya kepentingan dan para stake holder lokal. Who knows….,
Sejak mencuat diperbolehkan-nya warga lokal melakukan penambangan tradisional. Sekotong dan sekitar-nya mendadak bersinar. Tidak saja bagi penduduk Lombok pada umumnya, sekaligus mengundang selera kunjung bagi warga daerah lain. Terkait kepentingan si logam mulia.
Saya gak kepingin mengulas seberapa jauh duka-nya zona tambang. Selalu saja menyisakan tangis dan keluh kesah. Munculnya dampak premanisme di zona lingkar tambang seolah bukan menjadi hal baru. Penguasa mungil pengelola pungli. Belum lagi munculnya kekhawatiran tentang nasib pencemaran lingkungan yang menghantui kelak. Tumbuh suburnya pengusaha gelondongan emas lokal ternyata bagai efek tumbuh jamur dimusim hujan. Tunas demi tunas usaha sejenis berdiri dimanapun. Terutama sekali dikawasan Sekarbela, pusat pengrajin budidaya mutiara. Mau lebih mencolok. Datangi saja wilayah Getap. Sentral industri pengolah logam lokal. Produksi spesifik saat ini bisa jadi pembuatan cetak gelondong emas tadi. Sebuah mata rantai hubungan sebab-akibat.
Toh, ada juga kesimpulan unik. Manajemen tambang tradisional ternyata tidak jauh dari resiko yang lumayan tinggi. High risk activity…, fakta-nya sudah beberapa kasus makan korban. Terpuruk dan tertimbun longsoran batu. Terlebih terkubur dalam lorong galian. Sekaligus jadi kuburan bagi para korban yang tertimpa musibah. Kalau tidak terekspos memang sudah jadi “kode etik” bagi semua pelaku activist tambang.
Pepatah kini berubah paradigm lagi “Hujan batu bisa sering terjadi di negri sendiri…gak harus alami jauh-jauh di Negeri orang”. Mencapai taraf sejahtera memang harus menempuh geliat usaha dan kerja keras. Banting tulang..kuras keringat. Gak bisa dengan berpangku tangan…mengharap bintang jatuh. Hujan batu ciptaan manusia ini hanya beda tatanan dan lokasi simbolistik saja. Tawarkan sejuta rasa... bersakit-sakit dahulu... berenang-senang kemudian bila ketiban rejeki nomplok. Atau malah stress gak berkesudahan.
Bagaimana dengan warga Lombok sendiri? Realitasnya memang ada signifikansi yang berarti. Bisa anda coba baca pada artikel Kompas, April silam yang berhasil saya trek data pendukung. Agar bisa menjadi sirkulasi redaksional yang mendukung segelintir ulasan “basi” saya diatas tadi.
GALAXY_virtualNews.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar