Sudah gak bisa dipungkiri lagi bahwa khazanah budaya Bangsa Indonesia sangat beragam. Terutama jika mengaitkan pada pengaruh semboyan Bhineka Tunggal Ika. Berkembang pesat melalui lintas kultur dan pelangi peradapan dari sekian rentang waktu. Peralihan generasi dan warna akar unsur budaya lainnya.
Sejalan waktu, perkembangan tehnologi semakin cepat. Beberapa tatanan dikemas menjadi serba praktis dan instan. Semakin kedepan, kian dituntut kita menjadi lebih adaptif terhadap laju perubahan signifikan. Pengaruhi gaya hidup. Dari segala sesuatu yang remeh hingga sangat vital. Bahkan persooalan cara kita berbusana. Dulu, kta mengenal pada tatanan kebutuhan mendasar itu pada 3 hal. Sandang-Pangan-Papan. Sandang adalah pengertian dari apa yang kita kenakan. Casing yang dari tadi hanya sekedar sebagai fungsi pembalut tubuh. Hingga berkembang menjadi kebutuhan identitas citra diri. Fashion... apparel... apapun istilah yang kemudian mengiringi kurun peradapan yang berlanjut.
Nah, singgung rana budaya ber-pakaian. Kayaknya bakal kagok kalau tidak mengerti tentang kekayaan negeri sendiri. Dalam hal ini terkait Batik. Apalagi jika dikaitkan pada fakta, bahwa batik telah diakui oleh lembaga internasional PBB-Unesco sebagai salah satu budaya khas asli Indonesia. Resmi-nya oktober 2009.
|
batik tulis tangan.. khas motif Rembang tipe vintage. Bahan sutera |
Berangkat dari isu tekstil khas negri sendiri saya mulai tergerak mempelajari. paling tidak bisa menjadi bekal pengetahuan untuk para bocah di rumah. Toh sebagai generasi penerus kelak mereka juga kudu paham. Melek sejarah sendiri meski dengan satu segmen pengantar yang sederhana. Belajar dari 'sisa-sisa' batik peninggalan dari mbah-buyut mereka. Secara pribadi, gak bisa menampik bahwa sebagai generasi genre 80-90an saya pun mengalami putus mata rantai ketertarikan tentang batik. Sekalipun mungkin sisi postif-nya karena masa SMP dulu masih pernah enyam pendidikan kesenian yang menyertakan batik sebagai wacana pengetahuan. Minimal tau lah dasarnya. Toh, sejak tahun 80an pelajaran muatan lokal di Jawa sudah ditanamkan sejak SD melalui pengetahuan bahasa Jawi. Jujur belepotan saya ikuti karena proses pindah ke Malang masuk kelas 5. Mengalami gegar budaya. Maklum tipikal keluarga nomad. Sekalipun kelahiran asli Malang.
Semasa SMP, sesi pelajaran kesenian akhirnya ada juga tugas menggambar pola batik. Sekalipun cukup pada corak sederhana, Kawung & Parang rusak. Nah, di mapel ini justru jadi pelajaran favorit saya. Barangkali memang secara fitrah saya berjenis dominan otak kanan. Tapi masa itu belum ada pendalaman spesifik psikologi macem begituan. Kami adalah bagian format generasi yang dicetak sesuai arah kurikulum harus kuasai semua. Hm.. blehek juga!
Oiya. Batik, jaman itu-pun dianggap hanya sebagai menu sandang utama kaum sepuh. mbah-buyut. Tidak ada tempat spesifik, semacam museum khusus ideal mendulang pengen-tau. Masa itu, di Malang, dimana bukan kategori sebagai sentra batik sebagaimana wilayah lain. Madura...dan menyasar wilayah pantura dan hingga dominasi sentra batik di Jawa Tengah. Terlebih lagi saat itu belum ada pemicu dari pihak manapun bagaimana cara mengangkat tema harkat tekstil khas ini menjadi lebih dipahami. Mungkin ada beberapa pihak yang berjuang mengangkat tema terkait. Entah itu lembaga kebudayaan swasta maupun sektor instansi pemerintah. Hanya sirkulasi serap informasi jaman itu dikategorikan "harap maklum". Penyebaran-nya gak seperti geliat perkembangan tehnologi Informasi sekarang ini. Setidaknya pesatnya penetrasi internet menjadi nilai positif bagi kajian dan proses pembelajaran bagi siapapun. Baik kolektif maupun personal. sejalan lipatan jaman.
Kembali pada batik yang pada saat itu dipandang sebelah mata oleh penghuni negri sendiri. Naif kan! hehe..., Ikon sandang para 'tetua' itu akhirnya cuma jadi estafet hibah jika ada para kaum sepuh meninggal. Biasanya yang ketiban hibah adalah para tetangga dekat. Umum-nya kategori sepuh juga. (Kelak) masa kini saya tinggal di Lombok, stok batik keluarga yang ada akan menjadi kain panjang pelengkap sarana mandi jenazah. Dan setelah dibersihkan lalu dibagi pada para wanita pengurus jenazah yang berkecimpung pada anggota rukun kematian. Sekalipun mungkin kategori-nya adalah batik tipe low-entry dengan harga terjangkau. Namun dalam strata ekonomi sosial yang beda bisa jadi batik jenis high-end yang dipakai. Sebagaimana umumnya perlakuan para anumerta. Apa yang dipakai selama hidupnya akan disertakan secara fungsi pada saat wafat. Dan jika kasusnya di limpahkan pada penerima hibah, diharapkan semoga memiliki nilai manfaat berkelanjutan. Attitude yang sangat ngendonesia, menurut saya.
Masih perihal kilas balik. rongrongan gaya busana dari trend luar juga turut menekan laju perkembang-biakan batik. Bayangkan, versi menurut kami (jaman SMP-SMA) istilah trending topik klo liat ada rekan sebaya pake batik bakal di-panggil "si Pakde". Tebar aura tampil kebapakan. Agak melenceng gaya. Metuwek... istilah jawa-nya. Alias mendadak sok Tua. Pokoknya serba jadi predikat minus! Wajar, karena mind-set yang tertanam dan berkembang sudah sedemikian rupa. Bahkan koplak-nya lagi ada lelucon konyol, mau nyambung apa tidak.. ada istilah kata "simpatik" hasil ceplosan pelawak tanah air. kepanjangan dari 'SIMpanze PAkai baTIK".
Sisi lain, kondisi tadi juga gak bisa anggap miris sepenuhnya. Karena secara historis pakem batik juga bukan-lah kain sembarangan. Penting ini..catat!! Batik juga mengenal kasta. Sarat nilai filosofis bagi kalangan spesifik user. Motif tertentu hanya boleh diproduksi terbatas untuk keluarga kerajaan..hingga ada motif/pola tertentu yang dirancang khusus dari level patih..punggawa hingga abdi dalem. Entah itu penjahit istana...atau pengurus khusus desainer busana keraton. Bisa merujuk cuplikan berikut "Dilihat dari jenisnya, batik di Indonesia terbagi menjadi enam macam, yakni batik kraton, batik sudagaran, batik petani, batik belanda, batik cina, dan batik jawa hokokai". ( lengkapnya bisa rujuk Link).
Ruwet bin runyam... maka gak heran kalau target sebagai ikon nasional belum total tercapai. Sebab jika dikait-kaitkan sebagai identitas rupa Indonesia yang pluralis, tentu gak bisa di gebyah-uyah. Batik gak bisa dipungkiri selalu identic of Java. Sementara, daerah lain di Indonesia pasti akrab kain tenun atawa songket. Dan secara hirarki adat juga mengenal tatanan pranata sosial. Sekalipun mungkin tidak sempurna dijalani. Tapi secara kontekstual masih terjaga. Bahwa pada gelaran momentum upacara adat tertentu diwajibkan menyandang apparel adat. Berdasrkan hukum adat/awiq-awiq. Kain songket yang diproduksi dari wilayah Pringgasela lebih punya bobot dalam kajian nilai filosofi. Jujur ni ya! Daripada jika dibandingkan sekedar songket abal-abal yang berkeliaran di kawasan wisata sebagai penunjang sektor bisnis pariwisata.
Hm..., mesti-nya di poin bahasan ini ada kaitan dengan wacana saya yang belum tuntas pada tulisan lain tentang batik SaSamBo. Silahkan jenguk jika berkenan.
Dilematik batik. yang hidup segan...mati ogah. Sebenarnya lebih terbentur pada alasan klasik geo-politik tadi. Bahwa slogan kebersamaan "Bhinekka Tunggal Ika" akan cukup terwakili oleh salah satu ciri khas budaya satu daerah yang di"sepakati". Agak secara paksa dikondisikan. Bahkan mungkin dogma berkulindan. Padahal di-akui atau tidak, akan menimbulkan kontra akibat konflik kepentingan citra komunal. Secara geliat produksi masal pabrikan batik yang ada akan berusaha bertahan. Dan bukan tidak mungkin banyak yang gulung tikar, bangkrut. Akibat gak bisa menyesuaikan kondisi jaman juga peradapan yang mengiringi. Itu baru dampak sebagian saja yang mudah terbaca.
|
FOTO: SIPA PRESS, AFP |
Lucunya lagi, ada masa tertentu seolah kita dibangkitkan lagi kepada nostalgia budaya. Momentum yang saya ingat adalah sosok Presiden Afrika Selatan, lantaran dulu ditahun 1990 Nelson Mandela (sebelum jadi presiden) sempat kunjung Indonesia. Mendapat suvenir khas batik. Dan pada kesempatan berikutnya selalu tampil pede pakai batik. Kemanapun berkunjung dalam lawatan kenegaraan. Sekalipun bukan tanpa alasan. Nelson Mandela melakukan itu sebagai ungkapan apresiasi terhadap dukungan pihak Indonesia yang dulu getol memperjuangkan semangat anti apartheid. Semasa pernah beliau ditahan hingga bebas menghirup udara segar.
Sejauh pantauan dangkal saya berkiblat pada perkembangan kurun waktu-waktu tadi. Batik tradisional dengan muatan nilai sakral dan filosofi budaya memang ajak sulit berkembang di masyarakat luas. Wong secara lahiriah-nya bermuatan gradasi kasta tadi. Namun pengecualian, motif-motif bebas yang diperuntukkan oleh kalangan umum bisa dipakai oleh siapapun. Tanpa bias strata sosial.
Maka untuk menyiasati kecintaan pada produk tekstil budaya dan tanpa melupakan taste fashion yang mudah diterima masyarakat, lahir gerakan inovasi pembaharu. Ditengarai oleh geliat brand Batik Keris, menyusul Batik Semar. Batik tanpa pakem tradisional ini berhasil mengembangkan motif keren. Minimalis tapi elegan. Cukup sukses dengan desain unik dan kreatif. Tapi mutu bahan juga pilihan. Mungkin jadi kendala hanya soal harga lumayan mahal. Karena menyasar minat pangsa menengah atas. Juga wisatawan asing. Jadi lagi-lagi kesan exklusivitas lebih dominan. Tengok saja website-nya, bahkan pajangan model kebanyakan stok wajah asing. Strategi dagang aja kog!
tik-tak-tik-tak...,
sejalan waktu ada lagi gerakan inovasi batik. Masih ditahun 90-an... ketika geliat fashion berbahan dasar batik muncul ke permukaan. Kali ini hadir busana Batik Gaul berparas multi perca dalam tampilan komplit busana jadi. Termasuk pernik dan atribut fashion lainnya. Kurang lebih gerakan ini lebih pas ditandai sebagai tindakan ekonomi kreatif gebrakan waktu itu. Entah pihak mana atau prakarsa siapa. Yang sangat mungkin kiblat batik gaul itu lahir dari Jogya.
|
http://www.jogja-batik.com/ |
Motif khas tambal-sulam aneka kain batik dengan multi perca batik beda motif itu justru lebih disambut dengan antusias bagi kalangan remaja. Bahkan dipakai kaum lebih dewasa juga masih sah-sah saja. Alasan yang paling masuk akal mungkin esensi kandungan pesan moral-nya. Selain faktor harga terjangkau loh! perca-perca kain multi motif non pakem tradisi itu tanpa embel-embel apapun. Tidak mengikat strata dan warna kasta manapun. Non blok...menyimpan aura equality... sangat relevan dengan semangat pluralisme.
Sekalipun gak sampai kurun dasa-warsa berikutnya batik gaul mozaik ini-pun alami penurunan. Wajar... gak ada yang abadi. Namun batik-perca telah banyak memberi sumbangsih warna perkembangan khazanah dan sejarah batik di tanah air. Tapi fakta bisa bicara beda. Terbukti dari catatan jurnalistik. Ditengarai semakin pesat beberapa pelaku UKM disektor industri kreatif batik perca yang meraih sukses di usaha-nya. Kunci-nya lagi-lagi polesan modifikasi dan inovasi karya. Dewasa secara simultan. Berdaya saing dengan penuh energi terbaharukan. Sumpah..salut palapa!!!
Sebagaimana yang pernah dialami batik pakem tradisi pada masa jaya-nya. Tapi-nya tapi... tentu ada nuansa perbedaan. Batik tradisi...yang dicetak terbatas.. apalagi garapan tangan (hand-made) menjadi inceran kalangan tertentu. Di lirik tidak saja kolektor dalam negri tapi juga mancanegara. Dan nilai historis juga bakal mendongkrak harga. Pengecualian kasus.. misal begini, wafat-nya Pakde Nelson Mandela tentu meninggalkan warisan stok baju batik. Meski secara corak bisa jadi pakem batik Indonesia-nya adalah motif biasa. Non pakem kalangan ningrat. Tapi, sekalipun begitu terdapat paparan lain menyebut pakde Nelson juga mendapat modifikasi batik (made by order) dari percetakan tekstil dinegara-nya. Ada yang bermotif baru menyesuaikan ikon/item khas Afrika Selatan. Dan sebagian merupakan motif akulturasi. Keren pasti-nya! sampai-sampai aksen sandang batik-nya dijuluki Madiba Shirt. Baju itu sekalipun stok bekas.. jika kelak dilelang dibursa khusus komunitas pencinta batik bisa jadi harga-nya fantastis. Masio pakem motif wong ndeso...tapi sing gawe tokoh, yo regone iso mundak kasto. Hehe.. peace pakde Madiba! yo'nopo-nopo jenengan niku sampun dadi duta mlampah sak puterane dunyo. Matur sembah nuwun saking kulo.
Oke.. jabaran-nya pengantar-nya utama cukup segitu. Kini balik pada courisita belajar tingkat dasar lagi. Mempelajari tipe batik jadul peninggalan moyang yang ada. Mengamati kandungan motifnya. kecenderungan apa.. tehnis garap dan lain-lain. Ber-modal sisa peninggalan para pendahulu. Memanfaatkan panduan ragam bumbu referensi.