Selasa, 24 Februari 2009

Fenomena “Kunjung” Rumah Sakit



Bicara perlakuan terhadap pasien terkait pula bicara beda strata sosial. Sudah terasa sejak di loket daftar. Ungkapan itu ditandai dengan pertanyaan klise oknum RSU: “daftar via umum, asuransi atau fasilitas miskin”. Selanjutnya, nikmati-lah alur pelayanan yang anda dapati sesuai pilihan. Ada 2 kutub layanan VIP. Very important Person…atau terlebih singkatan nyelekit kelas bawah “Very ImpotenSIAL Person”. Dan memang itu sudah termaklumi sebagai hal lumrah bahasa duniawi.

Sedikit ulas acu bahasa,

Frase inggris as noun bilang “Hospital” di-indonesia-kan jadi “Rumah Sakit”. while, frase adjective (kata sifat) “Hospitable” malah dimaknai sebagai “kemurahan hati” atau-pun “keramahan”. Gak nyambung sama sekali. Konotasi tentang Rumah Sakit yang hingga detik ini saya alami benar-benar punya aura “sakit”. Terlebih lagi bila dihubungkan kepuasan terhadap sifat layanan. Sebagian masyarakat marginal bilang “menyakitkan”. Realitas nyata, RSU umum-nya memang gitu! Sempatin diri longok kelas bangsal utamanya kelas III. Mirip barak. Jibun pasien… se-abrek pengunjung. "RAWAT-INAP" bemakna.... rawat 1 pasien, yang nginap 2-3 orang. Berjejal dilantai gelaran tikar dan karpet. Lengkap bantal-guling-selimut.


Skup ini diperkecil pada pengalaman opname di RSU Mataram beberapa hari kemarin….,

Saat tiba jam kunjung, lorong bangsal mendadak luber manusia. Tertawa bahana disatu sudut ruang. Ada segelintir komunitas nongkrong. Kepul asap rokok persis di bawah tulisan No Smoking. Satpam raib tanggal fungsi tabligh. Seliweran manusia campur pasien dan pengunjung. Kian hantar jenuh. Tertekan akibat nebula ramai.

Kami terdampar di bangsal anak – gedung timur lantai 2. Satu ruang besar 6X6 meter, dibagi 4 petak. Terpisahkan oleh tirai warna peach. Sedikit campur ornamen debu, noda kotor, dan bercak darah. Mungkin pernah rangkap fungsi lap tangan dari penghuni sebelumnya. Malam tiba, sesi sunyi yang saya harap lekas hadir. Berbekal gulung matras dan kantung tidur. Sempatin diri tuang resah di nyala monitor laptop. Sesekali harus sigap buatin bubur cepat saji bagi Fathir. Masuki hari ke-2 malah lebih komplit tugas. Mijitin yanti sebab masuk angin.

Belum lagi nilai pegal kaki. Naik-turun tunai aneka tugas. Belanja keperluan, antar sampel darah saban pagi, atau jenguk musholla di bilangan lantai bawah. Lebih menjanjikan kondisi toilet-nya dibanding sarana bangsal. Lebih jorok. Timbun jejal sampah. rangkap cuci piring! Gak ada gayung air. Harus kreatif bikin sendiri dari sobekan botol aqua. Tapi ini sekaligus pelajaran “survival” buat Yanti hadapi sikon emergency.

Situasi duka-cita ini jadi nilai kisah tersendiri. Yanti tersenyum liat keluarga pasien lain bawa gayung air pribadi, lengkap pasta-sikat gigi-sabun. Padahal tabiat begini sering terlihat pada masyarakat pinggir sungai. Kampung Melayu sebagai wilayah kota Bandar punya istilah tersendiri terhadap citra warga yang di-identikkan dengan khas pedalaman itu. MASTENG… sebut singkat Masyarakat Tengak (tengah). Istilah yang membedakan komunitas warga pesisir dengan komunal non pesisir. Yang jelas tidak terkait dengan Mustang. Kuda liar pedalaman Amerika yang terkenal tangguh.

Honestly, jadi tercetus lagi penasaran saya. Di Sumbawa terkenal mitos susu kuda liar. Penyembuh berbagai penyakit. Salah satu-nya kanker darah. Entah-lah mustang, apakah susu-nya juga terkenal tangguh. No body knows….,

Tidak ada komentar: