Minggu, 26 Oktober 2008

Go to Bali.. CN235… let’s go BLUE

Bandara Selaparang, 21 Oktober 2008
Tititititititititit……bukan bermaksud singgung soal TiTiT panjang loh! Yang pasti itu tiruan bunyi metal detector sang petugas airport. Melenging panjang format terputus… tipikal varian menyatu proses telusuri kujur tubuh tiap penumpang. Petugas di gerbang awal tampil dengan senyum cukup menawan, cewek putih bersih. While, jelang masuk waiting room (lounge) ganti lagi dengan sosok mirip serdadu. Berseragam rapi.. lengkap dasi, rambut cepak ala tentara.
Masih juga aku risih. Maklum aja, rentang jeda traveling terakhir begitu lama berselang. Apa gara-gara penampilan awut-2an? Gak juga! Beberapa flight client lain juga alami hal serupa. Merenggang kaki… mengepak ketiak. Sejenak sensitive rupanya. Tapi sempat juga muncul isengku, bergerak nyeleneh depan petugas tadi. Brake dance…gerak patah-patah meliuk ikuti alur detector. Giliran si petugas yang bingung…tersendat heran. Hahahaha…. Vice-versa effect, kena juga kau!
Sebagai insan, petugas memang harus mawas, namun harus sigap disiplin terkait tugas.

Lirik jam dinding, masih 15 menit lagi jatah tunggu. Setidaknya ringkas tadi-lah yang jadi sajian pembuka perjalanan kini. Go to Bali…hadiri workshop dan pertemuan Nasional JKRI (Jaringan Kerja Reef-Check Indonesia). Slogan baru muncul lagi…Go Blue!
Gate dua..13.45 : Panggilan bagi semua penumpang Merpati untuk bergegas tuju pesawat, membahana di corong suara. Di altar parkir terpampang pesawat ber-propeller. Nyaris gak pernah alami, sejak naik terakhir di tahun 1995, jadi ingat era Fokker. Belum lewat jengahku, tercetus ungkap klien terbang lain berbalut cibir riang “beneran ini pesawat?”. Disambut senyum simpul anggota keluarga-nya, dicuekin mahluk domestik lain juga para turis yang gak blas tanggap bahasa. “Selamat datang di Merpati…CN235….” Desah lembut si pramugari selaras ayu wajah, mengambil alih perhatian.
Singgung armada dirgantara, aku teringat serangkai kisah sebagai referensi unek-unek kali ini. Mengalir begitu saja mengisi tungku benak. Pertama cerita tentang CN235, prototype awal produk dalam negeri. Sempat diulas dalam dialog interaktif Kick-Andy. Saat itu pak Prabowo tampil sebagai narasumber, masih dalam bincang terkait gejolak sejarah 1998 ketika reformasi bergulir. Tiga tokoh diwawancarai dalam sesi dan jeda terpisah waktu. Habibie..Prabowo...dan Wiranto.
Sejauh apa sih bentuk penghargaan Prabowo pada Habibie? Tanya Andy. Blablabla…, terekam cuma satu pernyataan unik. Kenangan peresmian flight perdana CN 235 di Halim, mampu meneteskan air mata seorang Prabowo. Sebulir buih-bangga sebagai “bagian bangsa” tercetus momentum hari. Apa pasal? Terlintas kenang silam sang mantan jendral kala enyam pendidikan militer di Amerika. Ketus mentor-nya serasa mengiris hati sekian lapis. “Hey kamu! Dari mana asalmu?!”. Prabowo muda menjawab INDONESIA, sir!!!”. Ditanya lagi dengan gertak landai “well, negeri yang penduduknya masih tinggal diatas pohon itu ya?!”. Sebentuk ploncoan umum khas militer tentunya. Namun akhirnya “irisan” itu temukan muara trenyuh yang terbayarkan oleh sekian dekade. Tinggal landas perdana-nya CN235, buah karya professor Habibie.

Berbaur ritme kini, rumor gaul seputar CN235 pernah marak jadi bahan obral-obrol. Terpuruk nama baik akibat kebijakan pemerintah, ditukar dengan produksi ketan milik negara tetangga sesama Asean. Takaran tonase seolah hanya sebanding wujud mungil sebijih ketan. Begitu ironisnya cara pandang yang beredar mengukir bilah keseharian. Dirgahayu ke-dirgantara-an Indonesia.
Terbit pula anekdot lain. Perseteruan sedang berlangsung dalam kancah perang antar bilateral. Seorang serdadu, penjaga amunisi rudal balistik anti serangan udara terlonjak dari lamunan. Tergugah waspada mendengar deru pesawat musuh di kejauhan, mendekati zona konflik. Entah karena telinga-nya telah canggih terlatih, atau sebab deru mesin pesawat musuh terlanjur heboh menebar berisik. Lalu dengan cekatan hubungi komandan. “lapor!!!! Ada pesawat musuh mendekati - mohon konfirmasi – perlu kami rontokkan dengan patriot?” bzzzr…bzzzr…berbaur intonasi nada handy-talkie, menanti interval timbal balik antar pihak komunikator. Sekian detik balasan pusat komando berujar “stop! Stop! Jangan tembak! – itu cuma CN235! – ntar juga jatuh sendiri!” Hikmahnya, pamor CN235 kian tergradasi. Ironis, bahkan sebelum nalar diberi kesempatan untuk kais wacana berlogika.
Anekdot lain lagi…,
Disuatu wilayah entah ber-entah, in the middle of no-where. Sepasukan atlit wakil Negara hendak tandang-tanding ke Negara tetangga-nya. Nimbrung bejibun..desak-desakan, kumpul bareng kiriman ternak dan hasil bumi. Terjebak di perut Dakota…bergelimang peluh menetes bak butiran jagung. Masih antre proses naikin barang lain rupanya! Dirundung amarah tertahan, salah 1 anggota kontingen berseloroh dengan desah sesal “Dasar insinyur gak manusiawi! Masak buat pesawat gak perhitungan! Kita orang didalam kepanasan.. kog kipas angin malah dipasang diluar??!” Sebagian official ikutan kompak gerutu tanda setuju, lainnya manggut-manggut masih bingung. Walah!!!!

My opinion…,
Singkat lintas udara Mataram-Denpasar hanya makan waktu 20 menit. Menembus cakrawala langit dengan CN235 nyaris sama saja dengan by plane jet-engine equipped. Berguncang keras menabrak pagar gumpal awan, seperti pantulan jalan darat ber-polisi tidur. Nikmati ada-nya….Alhamdulillah bisa sampai mencapai Ngurah Rai. Selamat datang di pulau Dewata.
Terkait kondisi isu penerbangan tanah air, dibawah ini saya sertakan juga karya lama. Koran Mataram sudah bubar, tapi aku gak redup siasati gelora diri hias tiras. Ide-nya muncul saat terjadi kecelakaan di Polonia tahun 2005. Pesawat baru hengkang landas…macet mesin…truz amblas hujam kompleks rumah padat penduduk di sebrang ujung landasan. Pernah dibilang tema gak current news...bukan kategori berita hangat. Sewaktu coba tawarin ke media lain, upaya cari lahan berkiprah.
Fakta berkehendak lain, serangkaian musibah penerbangan menambah daftar kelam. Dan ilustrasi kartun ber-caption ini mencoba “jawab” fenomena yang ada. Nowadays…headline new



-->


Tidak ada komentar: