Kamis, 09 Oktober 2008

Inisial… Nilai Ikonik Sebuah Kota

Serba-Serbi Survey Sepanjang Pantura jelang ramadhan

Sejenak mimpi-mimpi saya beberapa tahun lalu serasa terpenuhi. Mengarungi pesisir Pantura khususnya wilayah Jawa Tengah. Terhitung awal September lalu saya telah mampu ber-simbiosis dengan panas–nya “hawa Jawa”. Dus, menikmati terik berbaur raung mesin bis dan truk di altar lintas aspal. Baik mulus maupun gelombang tak rata di permukaan-nya. Tetap saja memberi ruang kenang tersendiri, bagi saya yang sudah menetap lebih dari 10 tahun di Lombok – NTB.
Dekati Ramadhan kali ini, saya jadi sedikit lebih sensitif. Gejolak spiritualisme apa-adanya, mungkin saja tertuang dari apa yang disebut ketika hati kecil ingin bicara. Lumrah tanpa limbah dari sengketa fakta duniawi. Terkontaminasi aura putih-bersih sang bulan suci, barangkali!. Tepatnya saat momentum Pemda setempat gelar aksi menumpas penyakit masyarakat (Pekat), sedang gencar terlaksana.

Tiga lokasi berikut yang sempat saya singgahi telah memberi nuansa penjabaran kecamuk diri tadi. Ber-awal pada survey di sekitar pantai Pidodo Barat, Kabupaten Kendal, terpampang tulisan seadanya berjudul Muara Kencan. Lengkap dengan plank sahaja bergambar 2 figur muda-mudi, dengan goresan sederhana mudah terdeteksi. Yang pasti bukan garap tangan tukang gambar ahli. Cuma ikon simbolis….sejenis peran promo-baliho. Keterangan penduduk setempat, konon nama muara itu plesetan dari title asli-nya “Muara Kencang”. Tapi apa iya???
Kunjung kedua, hari masih pagi saat survey kami berpindah lokasi di Kabupaten Brebes. Semalaman kebut APV dari Jepara tembus Semarang, mestinya wajib sita jedah bagi katup mata. Suntuk di serang kantuk, peran sopir di ambil alih rekan seperjalanan. Amiruddin-NusaKarimun Divers.
Leyeh-leyeh sejenak, terbuai seper-empat pulas. Namun, belum genap terbayar, lagi-lagi saya terbelalak pada rangkai abjad besar-besar…stadion olahraga Karang Birahi. Terpampang gamblang pada kelok simpang sempit, salah satu sudut kota. “Apalagi ini ???” pikir saya yang serta-merta beranjak sadar dari sandaran jok.

Selintas kemudian, larut saya pada sajian visual aktifitas alur kehidupan warga setempat. Tidak lagi pemerhati dari tema pokok dua nama lokasi yang saya anggap ber-konotasi miring tadi. Pengalih nuansa parametrik yang sebelumnya ingin tergali lebih dalam. Selebihnya, kami pun kembali pada fokus kunjung kerja pada instansi demi instansi. Terkait pengumpulan data sekunder pendukung canang program…”Penyusunan Grand Strategis pengelolaan lingkungan pesisir di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal”. Apapun kondisinya masih tetap saya bergumam dalam hati…Betapa menyenangkan menyatu pada tempat dan orang-orang baru.

Jelang sore, bersama beberapa mahasiswa (Undip) kami pun berbaur menjadi rekan sesama tim. Lalu memilih satu penginapan dekat laut sebagai fasilitas induk, pusat koordinasi kegiatan. Gerbang terdekat, kunjungi spot-spot cacah lokasi yang telah di tentukan. Tempat kali ini berjudul tema umum Pantai Alam Indah disingkat PAI.
Tahap tatap pertama, tidak langsung memberi penarik minat untuk saya jelajahi. Layaknya apa yang disebut aura daya tarik wisata. Masalahnya, saya terlanjur jadi tipikal penikmat tema khas dan unik, demi sesuatu yang saya yakini. Apalagi aksi jepret kamera saku digital yang selalu menemani kemana kaki pergi. Ternyata penat dan jengah lebih mengajak saya langsung ambruk pada dipan kamar losmen.

Malam-pun tiba, namun disini malah menjadi bumbu visual-kontradiktif. Nanar terbeliak pada sorot lampu mobil kami yang menyapu wajah pantai. Terjadi saat akan menjemput 3 rekan yang akan pulang dari survey kondisi laut. Di ujung tapal batas pintu muara. Seketika itu pula memberi ilham bahwa inilah tema “indah” yang sedang tersaji. Meminjam istilah dunia fotografi, terkenal lebih bersifat “Eye-Catching”. Persis seperti asyik nikmati tayang segmen acara televisi. Pada garis bawah layar kaca di bubuhi Info-Banner berjalan. Baik pesan maupun iklan.
Bak kelilipan, mata saya mengeja fakta ter-lahir. Puluhan pasang muda-mudi menghias sudut dan lajur hamparan PAI, para Darkness-mania. Diterjang halogen tak membuat mereka risih. Yang mungkin saja punya alibi “Gak bakal seterik sengat surya benderang siang hari”. Namun kalau-pun ada sorotan publik ataupun pihak berwenang, masih ada celah posisi tawar. Hanya “penerang”, bisa pula di angggap “pencerahan sementara”, Human being production. Tentunya punya dalil dan bermuatan unsur manusiawi. Indahnya pantai ini….adalah indah punya “mereka”. Masih terngiang celetuk teman di antara cekikik-nya. Sudah sepantasnya PAI diganti PMI, alias Pantai Malam Indah, ujarnya berseloroh spontan.



Formalitas Niat Suci
Secara umum, view point of interest begitulah kondisi rata-rata yang bersemayam di bumi negeri kita. Gelar-tayang sudah jadi komoditas lumrah. Akhirnya yang ada hanya bahasa permukaan saja. Tercetus dari apa yang di sebut keinginan menjaga ke-suci-an Ramadhan. Tahun ke tahun…cuma sebatas formalitas niat belaka.
kembali saya konsen pada kutip bait ”Semarangan Pojok Serpong”, tertanggal 15 September lalu. Bunyinya ”KPID Jateng minta selama Ramadhan tayangan infotainment berbau fitnah di hentikan”. Di jawab singkat…” Pilih khusyuk-tainment.
Last but not least, sirkulasi nuansa ini masih menghantarkan kita pada kondisi yang masih se-adanya. Jika saja kolom Semarangan Pojok Serpong bisa memuat uneg-uneg additional yang saya punya. Tentu bakal tak tambahi “mending pilih Khasyak khusyuk-tainment”.
Berkas koran itu memang sudah sekian hari lewat, tapi masih tetap aktual dan punya nilai berita. Paling tidak teryakini oleh diri saya sendiri, syukur-syukur menulari orang lain. Dengan harapan agar tercemar virus pemahaman atas bukti factual-otentik tadi. Bukan malah terjangkiti penyakit masyarakat yang kadung HiTAM-PEKAT itu…………



Taufan Galaxy
* taufangalaxy@yahoo.com
tinggal sementara waktu di semarang…2006.

*Tahun 2007 kunjung kedua kalinya ke Jateng, gak nyana ada kejadian heboh. 2 PNS Klaten ketangkap basah kamera HP sedang umbar main cinta di bilik sebuah rumah makan .

Tidak ada komentar: