Sederhana saja tak kemas judul itu. Saat membaca satu poin makalah yang di jabarkan oleh kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi NTB. Romawi 8 poin 9, tentang program-program penyuluhan sadar wisata di garis Kebijakan Pengembangan SDM, upaya Memobilisasi LSM di garda depan. Tepatnya acara Sosialisasi dan Promosi Daya Tarik Wisata Kawasan Konservasi. Hotel Lombok Raya tanggal 29 Mei 2006 lalu.
Tentu saja telah diawali dengan materi pendahulu. Di tunjang letak propinsi NTB yang strategis, berada pada kawasan wisata segitiga emas (Bali-Toraja-P. Komodo). Sehingga sangat wajar ketika sektor pariwisata diharapkan sebagai prioritas pembangunan kedua setelah sektor pertanian. Namun secara bertahap nantinya akan merupakan prioritas utama. Berbekal kesempatan mengembangkan diri, sejalan pelaksanaan otonomi daerah. Tak lupa berkutat pada semangat slogan “ Kembali pada Alam”.
Menjadi menarik, sebab acara ini dimotori oleh 3 kubu otorita pemangku utama (stake holder). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA(Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan ASITA wilayah NTB( Asosiasi Perusahaan Jasa perjalanan Wisata Indonesia).
Alam dan Prospek wisata
Mengulas posisi strategis wilayah, tidak bisa dilupakan mengenai karakteristik dan status kawasan. Terutama 3 pondasi sistim pembagian zonasi. Meliputi Zona Perlindungan, Zona Pengawetan dan Zona Pemanfaatan. Yang apapun dalilnya memanfaatkan bias berarti “ekploitasi”. Hanya penekanannya tetap pada koridor kelestarian fungsi dan mutu lingkungan. Berpegang pada pengembangan konsep-konsep daya dukung dan biaya lingkungan.
Acuan Perda Pemprop NTB no.9 tahun 1989 telah menetapkan kawasan pengembangan pariwisata menjadi 15 wilayah. Terbagi 9 lokasi di Pulau Lombok dan 6 kawasan di Pulau Sumbawa. Menyadarkan kita betapa sangat besar potensi yang di miliki oleh wilayah NTB.
Lalu timbul pertanyaan, berapa sih luas lahan kawasan tersebut??? Apakah sama luasnya sejak di tetapkan tahun1989 hingga 15 tahun terakhir. Masih relevan-kah zona pemanfaatan tadi dijadikan kajian wacana? Bukan kendala jika data-base pendukungnya akurat. Cukup dengan tehnologi intip via citra satelit. Misalnya tutupan tajuk pohon(kanopi), dapat dibandingkan pada 2 atau lebih gambar papar peta citra dengan beda interval tahun yang di inginkan. Cakupan luas lahan potensi alam dapat di ketahui. Bentang alam seketika berubah hanya seukuran display monitor komputer. Lengkap variabel-variabel pendukung data survey lapangan terkemas dalam software penyerta. Tehnologi ini dikenal dengan nama Remote Sensing berbasis aplikasi olah data GIS = Geodetic Information System ( Sistem Informasi Geografis).
ECOwisata versus EGOwisata
Paradigma lama tentang Mass-Tourism jelas tidak akan sejalan dengan pemanfaatan zona berkonsep kelestarian. Selain membutuhkan profesionalisme pengelolaan dan target pangsa tertentu, juga bermuatan pendidikan lingkungan. Berkaitan erat dengan biaya lingkungan sebagai konsekuensi ambil manfaat tadi, atau sering disebut Biaya Konservasi.
Realita yang banyak ditemukan di lapangan, adalah keberatan dari pihak travel agent maupun pelaku bisnis pariwisata. Besaran variasi nilai rupiah maupun dollar yang di kenakan pada para tamu, kadang sering jadi biang keributan. Sangat memprihatinkan bila hal itu menjadikan citra buruk dari wajah ke-pariwisata-an NTB, baik yang sudah ataupun yang sedang terjadi.
tContoh kasus, perambahan hutan ataupun illegal lodging di kawasan Gunung Rinjani. Sangat tidak bijaksana bila momentum penetapan kawasan konservasi-zona pemanfaatan, diharapkan sebagai obyek wisata. Padahal batasan wilayahnya belum dapat diprediksikan dengan pasti, namun langkah getol promosi sudah gencar di lakukan.
Sementara biaya kerusakan lingkungan sebagai upaya recovery maupun rehabilitasi lahan belum terpecahkan. Biaya konservasi sudah di bebankan pada tamu dengan niat hendak di jadikan target pangsa “tertentu” pada zona “terbatas”. Lagi-lagi kita terjebak zona manfaat namun ber-inisial tema aji mumpung. Tanpa sempat menoleh kebelakang, bercermin pada sejarah salah kelola.
Alternatif berkunjung
Kilas balik dari pertemuan jauh sebelumnya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata propinsi NTB ( di Hotel Sahid Legi) telah mengundang beberapa wakil dari tiap kabupaten maupun kotamadya. Bahasannya, tentang pengajuan potensi SDA tiap daerah. sebagai komoditas yang akan jadi rancangan Daerah Tujuan Wisata. Plus alokasi dana sisip anggaran sektor terkait.
Ide alternatif Kotamadya Mataram bisa jadi menarik sebagai acuan. Agenda pengembangan wisata bernuansa “tempo dulu” menggarap kota tua Ampenan. Sayangnya, deskripsi ide belum fokus pada aksi inventarisasi dan identifikasi riil. Apa saja keragaman budaya aneka etnis. Berapa total jumlah gedung tua. Terlebih lagi melupakan kalangan etnis Cina yang sarat dengan nebula etnik wacana lain. Kutip ungkapan, “belajar sampai ke negeri Cina”, toh cukup direkayasa dengan berkunjung pada serambi-nya. Anggap saja Singkawang-Kalbar, yang tersohor dengan sebutan kota 1000 Klenteng (Vihara). Lalu kenapa gagasan itu tidak kita implementasikan saja, Ampenan sebagai salah satu “Teras-nya” ???
Tengok saja keraguan itu pada lembar brosur lama promo-wisata Lombok. Kuburan Cina arah selatan Ampenan dianggap obyek tujuan wisata. Hanya sajian sunyi dan bait-bait syair kematian…. Bagaimana bisa antusias mengais Dollar, Yen bahkan Yuan dengan atraksi bisu???.
Atau munculkan ide lebih cerdas. Memberdayakan Museum, tentu saja dengan nuansa etnografi lebih segar. Dus, mengundang selera berkunjung wisatawan minat khusus. Kekurangan materi show-room di antisipasi bekerjasama dengan galeri-galeri kecil ataupun pemilik art shop setempat. Notabene secara individual adalah kolektor sekaligus pecinta benda seni berkualitas.
Sisi lain melihat peluang. Saya pernah baca satu artikel di internet. Salah satu keturunan kerajaan Karang Asem (bermukim di Lombok), ditolak oleh pusat ketika menginginkan kembalinya beberapa transkrip kuno bekas peninggalan dinasti mereka. Dengan dalil karena di daerah dianggap belum mampu menerima kembali tongkat estapet swa-kelola. Terutama untuk menjaga dan menjamin kelestariannya. Kecuali ada badan dan alokasi dana khusus yang menangani secara representatif di daerah.
Sangat tragis dan dilematis. Akhirnya kita harus rela sebagian omzet sastra-budaya NTB harus di nikmati pusat, untuk rentang tanpa kejelasan batas waktu.
Lambung jauh, belum lagi kasus kekayaan budaya nusantara yang masih tersimpan di museum Leiden,Holland. Terampas sejak masa kolonialis. Entah kapan kembali jadi hak sejati.
Bukankah semakin menyadarkan kita bahwa biaya pemeliharaan lingkungan, Besar adalah wajar, baik BIOTIK maupun ABIOTIK. “Mereka” adalah mahluk kreasi berkarakter dan ber-label edisi terbatas. Tidak mudah ber-replika tanpa mewarisi sifat genetis jiwa Pencipta-Nya dan para penjaga yang terpercaya. Khalifah di atas bumi…..,
Singkatnya, poin awal makalah tadi yang bikin saya tersentuh. Tersekat singkat dialog sesi tanya-jawab, hingga tersisa residu opini yang masih membebani. Penyuluhan sadar wisata…, jauh-jauh ambil referensi. Kita layaknya seperti kehilangan jati diri. Penduduk dengan julukan penghuni Pulau Seribu Masjid ini lupa, bahwa dalam daur putaran tahun, kita umat muslim punya bulan bernama Safar. Waktu yang punya makna penekanan khusus bagi kita melakukan perjalanan ber-darmawisata, bermuatan kecerdasan spiritual arah vertikal. Menikmati karya demi karya keagungan Ilahiah.
Dalam bahasa inggris sendiri, “safar” sudah jadi unsur serap menjadi “Safari” yang bermakna pencarian, ataupun ber-ekspedisi. Terakhir tapi bukan untuk seterusnya, saya ingin ber-pesan “Semeton jari senamean….plesir silak pade plesir*, I’m sure you will get a pleasure”
Taufan Galaxy
Staf yayasan Juang Laut Lestari (JARI)
Kader Konservasi binaan BKSDA
*semeton jari senamean...plesir silak pade plesir ( bahasa sasak ) artinya kurang lebih “Saudara sekalian...mari sama-sama berwisata”. ( Plesir adalah kata serapan dari kata Pleasure / English ).
Tentu saja telah diawali dengan materi pendahulu. Di tunjang letak propinsi NTB yang strategis, berada pada kawasan wisata segitiga emas (Bali-Toraja-P. Komodo). Sehingga sangat wajar ketika sektor pariwisata diharapkan sebagai prioritas pembangunan kedua setelah sektor pertanian. Namun secara bertahap nantinya akan merupakan prioritas utama. Berbekal kesempatan mengembangkan diri, sejalan pelaksanaan otonomi daerah. Tak lupa berkutat pada semangat slogan “ Kembali pada Alam”.
Menjadi menarik, sebab acara ini dimotori oleh 3 kubu otorita pemangku utama (stake holder). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA(Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan ASITA wilayah NTB( Asosiasi Perusahaan Jasa perjalanan Wisata Indonesia).
Alam dan Prospek wisata
Mengulas posisi strategis wilayah, tidak bisa dilupakan mengenai karakteristik dan status kawasan. Terutama 3 pondasi sistim pembagian zonasi. Meliputi Zona Perlindungan, Zona Pengawetan dan Zona Pemanfaatan. Yang apapun dalilnya memanfaatkan bias berarti “ekploitasi”. Hanya penekanannya tetap pada koridor kelestarian fungsi dan mutu lingkungan. Berpegang pada pengembangan konsep-konsep daya dukung dan biaya lingkungan.
Acuan Perda Pemprop NTB no.9 tahun 1989 telah menetapkan kawasan pengembangan pariwisata menjadi 15 wilayah. Terbagi 9 lokasi di Pulau Lombok dan 6 kawasan di Pulau Sumbawa. Menyadarkan kita betapa sangat besar potensi yang di miliki oleh wilayah NTB.
Lalu timbul pertanyaan, berapa sih luas lahan kawasan tersebut??? Apakah sama luasnya sejak di tetapkan tahun1989 hingga 15 tahun terakhir. Masih relevan-kah zona pemanfaatan tadi dijadikan kajian wacana? Bukan kendala jika data-base pendukungnya akurat. Cukup dengan tehnologi intip via citra satelit. Misalnya tutupan tajuk pohon(kanopi), dapat dibandingkan pada 2 atau lebih gambar papar peta citra dengan beda interval tahun yang di inginkan. Cakupan luas lahan potensi alam dapat di ketahui. Bentang alam seketika berubah hanya seukuran display monitor komputer. Lengkap variabel-variabel pendukung data survey lapangan terkemas dalam software penyerta. Tehnologi ini dikenal dengan nama Remote Sensing berbasis aplikasi olah data GIS = Geodetic Information System ( Sistem Informasi Geografis).
ECOwisata versus EGOwisata
Paradigma lama tentang Mass-Tourism jelas tidak akan sejalan dengan pemanfaatan zona berkonsep kelestarian. Selain membutuhkan profesionalisme pengelolaan dan target pangsa tertentu, juga bermuatan pendidikan lingkungan. Berkaitan erat dengan biaya lingkungan sebagai konsekuensi ambil manfaat tadi, atau sering disebut Biaya Konservasi.
Realita yang banyak ditemukan di lapangan, adalah keberatan dari pihak travel agent maupun pelaku bisnis pariwisata. Besaran variasi nilai rupiah maupun dollar yang di kenakan pada para tamu, kadang sering jadi biang keributan. Sangat memprihatinkan bila hal itu menjadikan citra buruk dari wajah ke-pariwisata-an NTB, baik yang sudah ataupun yang sedang terjadi.
tContoh kasus, perambahan hutan ataupun illegal lodging di kawasan Gunung Rinjani. Sangat tidak bijaksana bila momentum penetapan kawasan konservasi-zona pemanfaatan, diharapkan sebagai obyek wisata. Padahal batasan wilayahnya belum dapat diprediksikan dengan pasti, namun langkah getol promosi sudah gencar di lakukan.
Sementara biaya kerusakan lingkungan sebagai upaya recovery maupun rehabilitasi lahan belum terpecahkan. Biaya konservasi sudah di bebankan pada tamu dengan niat hendak di jadikan target pangsa “tertentu” pada zona “terbatas”. Lagi-lagi kita terjebak zona manfaat namun ber-inisial tema aji mumpung. Tanpa sempat menoleh kebelakang, bercermin pada sejarah salah kelola.
Alternatif berkunjung
Kilas balik dari pertemuan jauh sebelumnya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata propinsi NTB ( di Hotel Sahid Legi) telah mengundang beberapa wakil dari tiap kabupaten maupun kotamadya. Bahasannya, tentang pengajuan potensi SDA tiap daerah. sebagai komoditas yang akan jadi rancangan Daerah Tujuan Wisata. Plus alokasi dana sisip anggaran sektor terkait.
Ide alternatif Kotamadya Mataram bisa jadi menarik sebagai acuan. Agenda pengembangan wisata bernuansa “tempo dulu” menggarap kota tua Ampenan. Sayangnya, deskripsi ide belum fokus pada aksi inventarisasi dan identifikasi riil. Apa saja keragaman budaya aneka etnis. Berapa total jumlah gedung tua. Terlebih lagi melupakan kalangan etnis Cina yang sarat dengan nebula etnik wacana lain. Kutip ungkapan, “belajar sampai ke negeri Cina”, toh cukup direkayasa dengan berkunjung pada serambi-nya. Anggap saja Singkawang-Kalbar, yang tersohor dengan sebutan kota 1000 Klenteng (Vihara). Lalu kenapa gagasan itu tidak kita implementasikan saja, Ampenan sebagai salah satu “Teras-nya” ???
Tengok saja keraguan itu pada lembar brosur lama promo-wisata Lombok. Kuburan Cina arah selatan Ampenan dianggap obyek tujuan wisata. Hanya sajian sunyi dan bait-bait syair kematian…. Bagaimana bisa antusias mengais Dollar, Yen bahkan Yuan dengan atraksi bisu???.
Atau munculkan ide lebih cerdas. Memberdayakan Museum, tentu saja dengan nuansa etnografi lebih segar. Dus, mengundang selera berkunjung wisatawan minat khusus. Kekurangan materi show-room di antisipasi bekerjasama dengan galeri-galeri kecil ataupun pemilik art shop setempat. Notabene secara individual adalah kolektor sekaligus pecinta benda seni berkualitas.
Sisi lain melihat peluang. Saya pernah baca satu artikel di internet. Salah satu keturunan kerajaan Karang Asem (bermukim di Lombok), ditolak oleh pusat ketika menginginkan kembalinya beberapa transkrip kuno bekas peninggalan dinasti mereka. Dengan dalil karena di daerah dianggap belum mampu menerima kembali tongkat estapet swa-kelola. Terutama untuk menjaga dan menjamin kelestariannya. Kecuali ada badan dan alokasi dana khusus yang menangani secara representatif di daerah.
Sangat tragis dan dilematis. Akhirnya kita harus rela sebagian omzet sastra-budaya NTB harus di nikmati pusat, untuk rentang tanpa kejelasan batas waktu.
Lambung jauh, belum lagi kasus kekayaan budaya nusantara yang masih tersimpan di museum Leiden,Holland. Terampas sejak masa kolonialis. Entah kapan kembali jadi hak sejati.
Bukankah semakin menyadarkan kita bahwa biaya pemeliharaan lingkungan, Besar adalah wajar, baik BIOTIK maupun ABIOTIK. “Mereka” adalah mahluk kreasi berkarakter dan ber-label edisi terbatas. Tidak mudah ber-replika tanpa mewarisi sifat genetis jiwa Pencipta-Nya dan para penjaga yang terpercaya. Khalifah di atas bumi…..,
Singkatnya, poin awal makalah tadi yang bikin saya tersentuh. Tersekat singkat dialog sesi tanya-jawab, hingga tersisa residu opini yang masih membebani. Penyuluhan sadar wisata…, jauh-jauh ambil referensi. Kita layaknya seperti kehilangan jati diri. Penduduk dengan julukan penghuni Pulau Seribu Masjid ini lupa, bahwa dalam daur putaran tahun, kita umat muslim punya bulan bernama Safar. Waktu yang punya makna penekanan khusus bagi kita melakukan perjalanan ber-darmawisata, bermuatan kecerdasan spiritual arah vertikal. Menikmati karya demi karya keagungan Ilahiah.
Dalam bahasa inggris sendiri, “safar” sudah jadi unsur serap menjadi “Safari” yang bermakna pencarian, ataupun ber-ekspedisi. Terakhir tapi bukan untuk seterusnya, saya ingin ber-pesan “Semeton jari senamean….plesir silak pade plesir*, I’m sure you will get a pleasure”
Taufan Galaxy
Staf yayasan Juang Laut Lestari (JARI)
Kader Konservasi binaan BKSDA
*semeton jari senamean...plesir silak pade plesir ( bahasa sasak ) artinya kurang lebih “Saudara sekalian...mari sama-sama berwisata”. ( Plesir adalah kata serapan dari kata Pleasure / English ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar