Asa Menyambut Ramadhan 1430 Hijriah
Kolong Jumat dini, 17 Oktober 2008
Pernah dalam satu riwayat dikisahkan, di sebuah komunitas Halaqah dimasa era sahabat. Segelintir orang sedang membaca Al-quran dalam serangkaian mencapai khatam-an. Beberapa diantara-nya sedang asyik dengan fluktuasi tadarus, dengan rima dan bait surah yang berbeda. Tergantung kecepatan masing-masing. Uniknya, diantara mereka hanya tampak Ali bin Abi Thalib yang sedikit rada easy going, seolah tidak segiat lainnya. Hal ini tentu saja menjadi pertanyaan besar bagi nuansa khusyuk yang sedang berlangsung.
Lalu bertanyalah seseorang diantara mereka. Kira-kira versi “kini” bgini…,
Fulan : “Hey Ali, kog nyantai banget sih! Liat tuh temen-temen pada khidmat umbar energy melantunkan
ayat-ayat, kog antum malah seperti sudah selesai sedari tadi. Jangan malas-2an dong!”
ABAT : “Lho sapa yang malas! Memang ane sudah finish dari tadi kog!”
Fulan : “Finish??? Khatam???...sekejab itu?” Akh! Yang bener aja!!”
ABAT : “Swear! Memang ane sudah khatam”
Fulan : “High speed gitu!? Ck..ck..ck..pake formula apa??” (sedikit mencibir)
ABAT : “Mudah kog! Kebetulan ane pernah ingat sabda Rasulullah, bahwa dengan membaca surat
Al-Ikhlas sebanding dengan membaca 1/3 kandungan Al-quran. So! Ane sudah membaca-nya 3X.
klop deh!”
Fulan : “Oalaaaaaaaaa….Pantesan Bro!”
Hikmah dari dialog singkat tadi sebenarnya menunjukkan kadar intelegensi sang Khalifah Ali di masa muda-nya. Sebagai referensi yang pernah terungkap, kupasan sirah salah satu personil Khulafaur Rasyidin.
Melompat segmen waktu, terkenang lagi masa jaya si Abunawas. Terkenal sebagai insan berwawasan luas, lugas berpikir… kupas tuntas sebuah kebuntuan. Muara persoalan tak terjawab. Dus, jadi orang kepercayaan Baginda Harun Al-Rashyid. Bahkan, mungkin juga benar, dalam suatu kajian literatur dianggap sebagai ahli sufi, peletak dasar aliran sufistik modern. Kata-nya!!
Teringat syair beliau yang begitu akrab usik gendang telinga. Saya-pun hanyut dalam lantunan merdu sang Naib di penghantar bahana menara bambu, surau kecil di tanah Jawa. Sebait syair maknanya kurang lebih begini…”Ya Allah.. ya Tuhan-ku, aku ini memang gak pantas merasakan nikmat surga, tapi sisi lain aku juga gak berani dengan kobaran siksa neraka-MU”. Akh! Dasar penyair culas yang berotak cerdas…gumam-ku.
Jejal angan berlanjut jejak kala. Berani bertaruh 100%, kelompok Band UNGU pasti juga berkiblat aura religi syair tadi. Coba simak diantara bait lagu “Andai Ku Tau” mereka.
Kenapa di Ramadhan 1429 ?
Sekilas secara acak hadir lagi ungkapan si Kyai Mbeling, Cak MH. “kebanyakan orang adalah orang kebanyakan”. Fenomena terjebak resah kalo tidak dapat meraih langka Ramadhan. Belum tentu bisa ketemu Ramadhan tahun depan… terkreasi sebagai kalimat reduplikasi. Senantiasa mengisi pengantar khotbah sambut awal “Marhaban ya Ramadhan”.
Lalu bagaimana aku? Yang terbengkalai gagal penuhi target obsesi asa pada bulan primadona. Malam-malam terlewati, serasa belum khusuk bilas tafakkur. Terlanjur larut di kubangan jelaga diri, nggak terbantahkan. Semata terbebani tarikan kutub resah duniawi. Desahku parau… sirkulasi eliminir komunikasi tegak-lurus. Benar-benar ujian!!!
Gaung masjid berlantun fluktuasi rima Kitabullah. Panggilan adzan menebar semangat berjamaah. Dan awal malam merentas derap tarawih… hingga 1/3 jatah malam…sahur…imsak…disusul subuh perdana mengundang umat tumben kumpul. Belum juga aku tergerak…
Tengah Ramadhan hengkang Jawa, berkutat hawa Surabaya “kebanyakan”. Berkutat sekitar Perak urus kiriman barang LN. ternyata masih banyak pungli ber-label bea administrasi. Seorang oknum bilang… untuk bekal lebaran. “Ben gak cekak Cak! Yo’opo mneh..hayo?” Benar-benar terseret arus formalitas…formalitas lebaran.
Jelang H-4 mudik Mataram. Saya memang lagi cekak…tetapi semakin cekaka’an mendalami makna pencerahan kilas anjangsana sebagian wilayah Jawa.
Kembali pada runut, upaya hapus elegi. Tentunya dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada kudus Shaum terjalani. Tak terbantahkan terselip keistimewaan malam seribu bulan, Lailatul Qadar. Untuk mencapai formalitas Ramadhan 1430 kini harus mampu saya ciptakan hakikat ramadhan-ramadhan kecil. Dasarnya, termaktub di penghantar khutbah Jumu’ah. 4X/bulanX12 = 48X peringatan. Hari JUMAT adalah penghulu sekalian hari… hari RAYA-nya orang fakir dan hari HAJI-nya orang miskin. Kuncinya, apa saya harus berupaya meraih inti makna hari Raya? Semoga saja tidak di cap sebagai santri mbeling, jama’ah culas...bagi aku yang berpredikat fakir, mungkin juga sedikit pandir. Salam sejahtera pada alam fana…,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar